I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tujuan utama pembangunan kelautan dan perikanan adalah untuk (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya dan masyarakat pesisir lainnya, (2) meningkatkan sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, 3) meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan, 4) memelihara dan meningkatkan daya dukung serta mutu lingkungan perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, 5) meningkatkan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya bahari bangsa Indonesia.
Pemberdayaan sektor kelautan dan perikanan untuk menjadikannya sebagai salah satu prime mover perekonomian Indonesia perlu diiringi penerapan IPTEK yang tepat. Penerapan IPTEK yang memadai ini merupakan salah satu kelemahan yang perlu segera diatasi di dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Hasil-hasil riset yang diharapkan dapat dijadikan IPTEK yang siap diadopsikan di masyarakat selama ini masih berupa komponen paket teknologi yang parsial yang belum siap diadopsikan di masyarakat. Hasil riset ini perlu dirangkum menjadi suatu paket teknologi dan diuji dalam skala pilot plant.
Belum dilakukannya riset pengembangan dalam bentuk pilot plant ini selama ini dirasakan telah menjadi kendala utama belum siapnya hasil riset diadopsi oleh pengguna. Beberapa tahap masih dan perlu segera dilakukan sebelum IPTEK hasil riset ini diintroduksikan ke masyarakat. Tahapan tersebut akan meliputi perangkuman hasil riset yang masih berupa komponen teknologi menjadi paket teknologi, kajian paket teknologi dalam skala pilot plan di laboratorium yang kemudian setelah dilakukan modifikasi, jika diperlukan, diuji di lapangan. Diharapkan, setelah proses tersebut hasil riset telah berupa paket teknologi yang siap untuk diintroduksikan. Untuk mempercepat proses adopsi teknologi, tahap pengujian di lapangan tersebut dapat sekaligus dimanfaatkan sebagai tahapan introduksi yang kemudian pada tahan selanjutnya sudah dapat dilakukan tahapan produksi komesial. Dengan demikian penyebaran hasil riset dapat diakselerasi dan proses adopsi dapat berjalan lebih cepat.
Penyebaran hasil riset dalam bentuk paket teknologi ini merupakan suatu upaya untuk mengintroduksikan IPTEK yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan. Teradopsinya IPTEK ini akan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah kharakteristik teknologi, metoda yang digunakan, jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengadopsi teknologi tersebut, kesediaan masyarakat untuk mengadopsi, kebutuhan masyarakat akan teknologi tersebut, dan sebagainya. Kemampuan masyarakat pengguna teknologi akan dapat dikembangkan apabila keterbatasan pengetahuan, ketrampilan dan permodalan mereka dapat diatasi serta sikap masyarakat pengguna teknologi yang statis tradisional dapat diubah menjadi sikap yang lebih dinamis rasional. Dalam hal ini kharakter sosial-budaya masyarakat merupakan salah satu kunci utama keberhasilan introduksi suatu teknologi.
Hasil riset yang saat ini siap untuk dikembangkan adalah teknologi ekstraksi khitin dan khitosan yang bahan bakunya menggunakan limbah industri udang atau rajungan. Selama ini limbah tersebut masih terbuang begitu saja, atau dimanfaatkan dengan dikeringkan dan ditepungkan untuk bahan tambahan pakan ternak. Padahal, dengan teknologi yang tidak rumit, limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk yang bernilai guna dan tambah sangat tinggi, yaitu khitin atau khitosan.
Teknologi tersebut melibatkan proses kimiawi, diawali dengan proses penghilangan mineral menggunakan asam dan pengilangan protein menggunakan basa sehingga diperoleh khitin. Selanjutnya khitin dideasetilasi menggunakan basa konsentrasi tinggi dengan suhu tinggi sehingga diperoleh khitosan. Mutu khitin dan khitosan yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, juga ditentukan oleh proses yang digunakan. Pengendalian suhu dan konsentrasi asam dan basa yang digunakan akan berpengaruh terhadap mutu khitin dan khitosan yang dihasilkan.
Selaras dengan perkembangan kebutuhan manusia, kebutuhan khitin/khitosan makin meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk kebutuhan farmasi, pangan, maupun industri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Indonesia masih harus mengimpornya dari luar. Padahal, sumber bahan baku cukup untuk produksi khitin/khitosan yang berupa limbah udang dan rajungan cukup melimpah. Daerah-daerah penghasil udang dan rajungan seperti Cirebon (Jawa Barat), Kalimantan Barat, Riau dan sebagainya merupakan daerah potensial untuk pengembangan industri ini. Teknologi yang diperlukan sudah tersedia dari hasil-hasil riset yang dihasilkan Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, namun sayangnya hasil tersebut masih berupa komponen teknologi yang parsial sehingga perlu kajian pengembangan sebelum dapat digunakan secara komersial di lapangan.
TUJUAN
Riset ini dimaksudkan untuk menyiapkan paket teknologi ekstraksi khitin dan khitosan yang siap diintroduksikan ke pengguna (UKM) yang diharapkan nantinya dapat menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi, menciptakan peluang usaha dan kerja baru, membantu mengatasi masalah limbah (lingkungan), dan menghemat devisa.
Paket teknologi ekstraksi khitin dan khitosan dalam skala pilot plant yang siap untuk diintroduksikan secara komersial di lapangan. Selain itu, diharapkan dapat dihasilkan publikasi-publikasi ilmiah berkaitan dengan pengembangan teknologi ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumber Kitin dan Kitosan
Kitin merupakan biopolimer terbanyak kedua setelah selulose yang berlimpah dan tersebar di alam. Kitin termasuk komponen organic penting penyusun kerangka lobster (12%), kepiting (13%), udang (8%), antartic krill (2,3-6,1%), dinding sel kapang (44%) dan pada dinding sel jamur (40%) (Knorr, 1982).
Kitin banyak ditemukan pada serangga, mikroorganisme, dan pada kepala dan kulit hewan kelompok avertebrata berkulit keras seperti udang, kepiting, tiram, dan cumi-cumi (Rha, 1984). Kulit golongan crustacea merupakan sumber kitin yang paling kaya, kandungannya dapat mencapai 40-60% (berat kering) (Angka dan Suhartono, 2000). Kitin juga dapat disintesis dari beberapa substrat gula nukleotida, seperti uridin diphospho-N-asetilglukosamin menggunakan enzim kitin sintase (Sandford, 1989).
Kitin juga dapat diekstrak dari limbah fermentasi asam sitrat oleh Aspergillus niger. Dari 40.000 ton limbah industri, dengan menggunakan kapang mampu menghasilkan 10.000 ton kitin (Berkeley dan Nicolaysen dalm Rha, 1984). Menurut Muzi (1990). sebenarnya kitin yang diperoleh dari berbagai sumber diketahui mempunyai struktur yang sama kecuali asosiasinya dengan protein dan kalsium karbonat yang beragam. Kandungan kitin dari berbagai sumber terlihat pada Tabel 1.
Menurut Tsugita (1997), kitin adalah substansi organik yang terdapat dalam berbagai spesies binatang perairan, contohnya pada karapas udang, cangkang rajungan, dan sisik ikan. Kitin dapat ditemukan pada limbah udang dan rajungan masing-masing sebesar 14-17% dan 13-15% (berat kering) tergantung dari jenis spesies dan factor lain (Ashford, 1977 dalm Knorr, 1984). Menurut Bough (1975), kandungan kitin pada limbah udang dan rajungan sebesar 20-30% (berat kering).
Kitosan merupakan turunan kitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi (penghilangan gugus –COCH3) (Johnson dan Peniston, 1982; Rha, 1984). Menurut Nisperoscarriedo (1995), pemrosesan kitin dengan alkali akan menghasilkan kitosan yang merupakan substansi heterogen dari proses deasetilasi kitin. Knorr (1984), menyatakan bahwa dari sekian banyak sumber kitosan hanya kulit udang dan rajungan yang sudah dimanfaatkan secara komersial. Cangkang rajungan merupakan sumber utama dari industri yang memproduksi kitin dan kitosan, karena cangkang rajungan relative kaya dengan kitin, sedikit mengandung CaCo3, dan mudah didapat dalam jumlah besar sebagai hasil samping industri pengolahan rajungan (hirano, 1980).
Tabel 1. Kandungan kitin dari berbagai sumber
Jenis | Kandungan kitin (%) |
1. Golongan crustaceae | |
Kepiting biru | 14a |
Kepiting merah | 1,3-1,8b |
Lobster : Nephrops | 69,8c |
Homarus | 60,8-77,0c |
Udang | 69,1c |
2. Golongan insect | |
Kecoa/lipas | 35c |
Kumbang | 27-35c |
Belalang | 20c |
Ulat sutra | 33,7c |
3. Golongan molusca | |
Clam shell | 6,1 |
Kulit kerang | 3,6 |
Rangka dalam cumi-cumi | 41,0 |
4. Golongan mikroorganisme | |
Aspergillus | 42,0d |
Penicillium notatum | 18,5d |
Penicillium chrysogenum | 20,1d |
Saccharomyces cerevisiae | 2,9d |
(Sumber : Naczk et al. 1981 dalam Knorr, 1984)
Keterangan : a: Berdasarkan berat basah
b: Berdasarkan berat kering
c: Berdasarkan berat bahan organic pada kulit luar
d: Berdasarkan berat kering dari dinding sel
Kandungan nitrogen yang tinggi dalam polimer inilah yang membuat kitin dan kitosan sangat diminati industri. Substitusi N secara sintetis telah dilakukan terhadap selulose, namun jumlahnya hanya mencapai 1,25%. Kitin dan kitosan secara alami mengandung N dalam jumlah tinggi, yaitu 6,89%, sehingga secara komersial sangat menarik.Dengan adanya N ini, kitin ataupun kitosan sangat baik untuk chelating agen (Wibowo, 2006).
Potensi limbah industri pengolahan udang dan kepiting/rajungan di Indonesia sangat besar, 76.657-114.986 ton cangkang udang per tahun dan 3.643-4.128 ton cangkang kepiting/rajungan per tahun, yang dapat memproduksi kitin 12.045-17.867 ton per tahun (Wibowo, 2006). Kulit udang dan rajungan merupakan limbah pengolahan udang dan rajungan yang mencapai 50-60% dari berat utuh (Johnson dan Peniston, 1982).
2.2. Udang
Udang dapat diklasifikasikan dalam Phyllum Arthropoda, Class Crustacea, Famili Panaeidae, Genus Penaeid sp dan Species Panaeus monodon atau disebut udang windu (Soetomo, 1990). Udang Penaeid seperti halnya dengan crustaceae lainnya adalah binatang air beruas-ruas, tiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Anggota ini pada umumnya bercabang dua (biramus). Tubuh udang secara morfologis dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu chepalothorax atau bagian kepala dan dada serta abdomen atau perut. Bagian chepalothorax terlindungi oleh kulit kitin yang tebal yang dinamakan carapace (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1980). Persentase tubuh udang menurut Zaitsev et al. (1969) adalah 36-49% bagian kepala, daging keseluruhan 24-41% sedangkan kulit ekor antara 17-23% dari seluruh berat badan.
Kulit udang yang terdapat pada kepala, jengger dan tubuh udang mengandung protein 34,9%, kalsium 27,6%, kitin 18,1% dan unsure lain seperti zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19,4% (Casio et al, 1982). Sedangkan menurut Ornum (1992) rangka luar arthropoda mengandung 20-50% kitin, sisanya adalah protein dan mineral terutama kalsium karbonat.
Limbah udang yang berupa cangkang, karapas dan kepala merupakan sumber kitin yang dapat dimanfaatkan secara komersial dibandingkan dengan limbah yang berasal dari crustacean lainnya karena limbah udang lebih mudah diperoleh sehingga dapat diproduksi secara komersial (Knorr, 1984).
2.3. Rajungan
Rajungan dapat diklasifikasikan dalam Phyllum arthropoda, Class crustaceae, Famili Portunidae, Genus Portunus dan Spesies Portunus pelagicus (Chambel dan Stephenson dalam Suwarni, 1993). Ciri morfologi rajungan adalah mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Ukuran karapas pada umumnya lebih besar kea rah lebarnya daripada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri-duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, yang pertama ukurannya cukup besar dan disebut sapit, yang berfungsi untuk memegang dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu rajungan digolongkan ke dalam kepiting berenang (swimming crab) (Bowman, 1972; Soesani, 1963 dan Nontji, 1986 dalam Suwarni, 1993).
Rajungan banyak dijumpai atau dijual di pasaran. Hewan ini bisa mencapai ukuran 18 cm, sapitnya memanjang kokoh dan berduri-duri. Antara rajungan jantan dan betina terdapat perbedaan yang menyolok yaitu rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan sapit lebih panjang dibandingkan dengan rajungan betina. Warna dasar karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan yang betina memiliki warna dasar karapas kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih suram. Perbedaan warna akan tampak jelas pada individu yang berukuran besar walaupun belum dewasa (Nontji, 1986).
Rajungan hidup pada habitat yang bermacam-macam seperti pantai pasir, pantai pasir berlumpur, dan lautan terbuka, namun rajungan lebih menyenangi perairan yang mempunyai dasar pasir berlumpur. Rajungan dalam keadaan biasa diam didasar laut sampai kedalaman 65 m, tetapi sekali-sekali juga terlihat berenang dekat ke permukaan laut (Nontji, 1986).
Cangkang merupakan bagian terkeras dari semua komponen rajungan dan selama ini dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk organic mengingat kandungan mineral dari cangkang terutama kandungan kalsiumnya cukup tinggi. Cangkang dapat mencapai 57% dari total limbah yang dihasilkan. Cangkang rajungan mengandung kitin, protein, CaCO3 serta sedikit MgCO3 dan pigmen astaxanthin (Hirano, 1989). Menurut Angka dan Suhartono (2000), golongan crustaceae seperti rajungan pada umumnya mengandung 25% bahan padat, 20-25% daging yang dapat dimakan, dan sekitar 50-60% hasil buangan. Padatan pada buangan ini masih mengandung sampai 25% bahan padat dan sekitar 25% dari padatan ini adalah kitin.
2.4. Sifat Fisiko Kimia Kitin dan Kitosan
Kitin merupakan biopolymer polisakarida dengan rantai lurus yang tersusun dari 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin, monomer-monomer tersebut tersusun dengan ikatan glikosidik β(1-4) (Bough, 1975). Kitin memiliki nama kimia poly-β-(1-4)-N-asetil-D-glukosamin (Knorr, 1984).
Bentuk molekul kitin hamper sama dengan selulosa yaitu polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul gula sederhana yang identik (Brezski, 1987). Bedanya dengan selulosa terletak pada gugus rantai C-2, dimana gugus hidroksil pada C-2 digantikan oleh gugus asetil amino (-NHCOCH3) (Bastaman, 1989). Menurut ornum (1992), selulosa mengandung monomer glukosa yang terlihat dalam bentuk β(1-4) sedangkan kitin mengandung monomer N-asetil-D-glukosamin.
Kitin tidak larut dalam air, asam, basa, alcohol atau pelarut organic lainnya, tetapi kitin dapat larut dalam larutan HCL pekat, H2SO4 pekat, asam fosfat 78-79% atau asam format anhidrat (Angka dan Suhartono, 2000). Ornum (1992), menyatakan bahwa kitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam organic encer, dan asam-asam organic, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium klorida. Kitin berwarna putih, berbentuk kristal dengan berat molekul lebih dari 1,2 x 105 dalton (knorr, 1984).
Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin, yang memiliki sifat yang unik. Unit penyusun kitosan merupakan disakarida (1-4)-2-amino-2-deoksi-α-D-glukosa yang saling berikatan β (Angka dan Suhartono, 2000). Menurut Knorr, 1984, berat molekul kitosan 1,036 x 106 dalton. Berat molekul tersebut tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatannya. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka berat molekulnya semakin rendah dan sebaliknya interaksi antar ion dan ikatan hydrogen dari kitosan akan semakin kuat (Ornum, 1992).
Kitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat, dan pembentuk disperse dalam larutan asam asetat. Gugus amino bebas inilah yang menyebabkan banyak kegunaan pada kitosan. Bila dilarutkan dalam asam, kitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linier sehingga dapat digunakan dalam proses flokulan, pembentuk gel atau imobilisasi dalam beberapa reagen biologis termasuk enzim. Kelebihan polielektrolit kationik dibandingkan dengan koagulan lain diantaranya jumlah flok lebih sedikit karena polielektrolit tidak membentuk endapan, flok yang terbentuk lebih kuat dan tidak memerlukan pengaturan (Ornum, 1992).
Kitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH diatas 6,5 dan pelarut organic, tetapi dapat larut cepat dalam asam organic encer seperti asam formiat, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain kecuali sulfur (Austin, 1984). Pelarut kitosan yang baik adalah asam format dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 0,2-1,0% dan 1-2% (Ornum, 1992). Sifat kelarutan kitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifik yang bervariasi serta tergantung dari sumber dan metode isolasinya (Austin,1984). Molekul kitosan di dalam larutan asam encer berkekuatan ion rendah bersifat lebih kompak dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya, hal ini disebabkan densitas muatan yang tinggi. Akan tetapi, dalam larutan berkekuatan ionic tinggi ikatan hydrogen dan gaya elektrostatik pada molekul kitosan terganggu sehingga konformasinya menjadi bentuk acak. Sifat fleksibel molekul ini yang menjadikannya dapat membentuk baik konformasi kompak maupun memanjang (polisakarida lain umumnya berbentuk memanjang). Sifat fleksibel kitosan membantu daya gunanya didalam berbagai produk (Angka dan Suhartono, 2000).
Sifat yang menarik dari kitosan adalah kemampuannya untuk mengikat ion logam seperti Fe, Cu, Cd, Hg, dan lain-lain; mengikat air dan lemak, menggumpalkan suspensi koloid dengan membentuk blok-blok gumpalan seperti alum atau aluminium sulfat, ferosulfat atau ferriklorida serta mempunyai sifat adsorbsi (Karim dan Sistrunk, 1985).
Kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi menyebabkannya mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung dengan adanya gugus polar dan nonpolar yang dikandungnya, karena kemampuannya tersebut kitosan dapat digunakan sebagai pengental, pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Breszki, 1989).
Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia tinggi (karena mengandung gugus –OH dan atau gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna atau penukar ion). Selain itu ketahanan kimia keduanya cukup baik yaitu kitosan larut dalam larutan asam tetapi tidak larut dalam basa dan posisi silang kitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan kitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Muzarelli, 1977).
2.5. Isolasi kitosan
Kitin diperoleh dengan cara menghilangkan protein (deproteinasi) dan mineral (demineralisasi) dari kulit atau cangkang udang dan rajungan dilanjutkan dengan proses deasetilasi terhadap kitin untuk mendapatkan kitosan. Suptijah et al. 1992, berhasil mengisolasi kitin dengan cara demineraliasi kemudian dilanjutkan dengan deproteinasi. Tetapi lain halnya yang dilakukan oleh Purwatiningsih (1990), kitin diisolasi dengan cara deproteinasi kemudian dilanjutkan dengan demineralisasi. Bila deproteinasi dilakukan terlebih dahulu maka protein dapat diikat menjadi Na-proteinat, selanjutnya protein tersebut dapat dipisahkan kembali menjadi endapan natrium dan proteinnya dapat digunakan untuk suplemen (Purwantiningsih, 1990).
Demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam kulit udang atau rajungan. Kandungan mineralnya dapat mencapai 30-50% dengan mineral yang paling tinggi adalah kalsium karbonat yang dapat mencapai 8-10% dari total mineral (Johnson dan Peniston, 1982). Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan, karena dengan pengadukan yang konstan diharapkan asam berkonsentrasi rendah tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan (Karmas, 1982).
Demineralisasi dapat dilakukan dengan berbagai metode. Hong et al. (1989), menggunakan HCl 1 N, nisbah bahan 1:5 (b/v) dan diekstrak selama 30 menit. Suptijah et al. (1992), menggunakan larutan HCl 1N, nisbah bahan 1:7 (b/v) kemudian dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1jam, sedangkan Budiyanto (1995), melakukan demineralisasi berulang dua kali dengan larutan HCl 1,25 N, nisbah bahan 1:10 (b/v) dipanaskan pada suhu 70-75 oC selama 1 jam.
Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada limbah udang atau rajungan. Kandungan proteinnya dapat mencapai 30-40% (Johnson dan Peniston, 1982). Ekstraksi dengan larutan alkali dapat menghilangkan protein dari cangkang rajungan dan udang, larutan alkali tersebut akan masuk ke celah-celah cangkang rajungan untuk memutuskan ikatan antara protein dan kitin (kamas, 1982). Menurut Suptijah et al. (1992), deproteinasi dapat dilakukan dengan mencampurkan bahan dan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 1:10 (b/v) kemudian dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam. Budiyanto (1995), melakukan deproteinasi dengan menggunakan larutan NaOH 3%, nisbah 1:6 (b/v) dipanaskan pada suhu 80-85 oC selama 30 menit dan dilakukan berulang dua kali, sedangkan Hong et al. (1989), menggunakan larutan NaOH 3,5 N nisbah bahan 1:10 (b/v) selama 30 menit.
Kitosan dapat dibuat dari kitin melalui proses deasetilasi, yaitu penghilangan gugus asetil (-COCH3) yang terdapat pada kitin (Suptijah et al. 1992). Kitin mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan yang kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksil. Oleh karena itu pada proses deasetilasi digunakan larutan NaOH konsentrasi tinggi (.40%) dan suhu tinggi (100-150 oC). Penggunaan konsentrasi NaOH dan suhu yang tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan kitosan yang memiliki derajat deasetilasi yang tinggi.
Menurut Suptijah et al. (1992), deasetilasi pada kitin yang optimum dapat dilakukan dengan cara menambahkan larutan NaOH pekat (50%) nisbah 1:20 (b/v) kemudian dipanaskan pada suhu 120-140 oC selama 1 jam. Waktu dan suhu pada proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir, waktu deasetilasi yang lama dengan suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan rendemen kitosan, berat molekul, viskositas dan kemampuan mekanik dari film kitosan (Bastaman, 1989).
2.6. Pemanfaatan kitin dan kitosan
Aplikasi kitin dan kitosan yang paling luas penggunaannya adalah dalam pengolahan limbah cair. Di Jepang, kitosan digunakan secara resmi sebagai bahan penggumpal dalam sirkulasi pengolahan air limbah yang akan digunakan kembali (recycling) dalam industri pangan. Tiga hal penting untuk aplikasi kitin dan kitosan di masa mendatang yaitu : (1) sebagai bahan fungsional yang digunakan dalam proses “water treatment”; (2) sebagai bahan bersifat fungsional yang digunakan dalam industri pangan; dan (3) sebagai polimer hasil temuan baru yang berguna dalam teknologi polimer (Brzeski, 1987).
Bidang kedokteran telah memanfaatkan kitin dan kitosan secara maksimal, misalnya nkemungkinan kitin digunakan sebagai bahan obat anti kolesterol, kitosan bersifat non-trombogenik (tidak menggumpalkan darah) sehingga dapat digunakan sebagai pengganti tulang rawan dan pengganti saluran darah, turunan kitosan mempunyai sifat antibacterial dan anti koagulan dalam darah, kitin dan turunannya dapat menggumpalkan sel-sel leukemia sehingga cocok sebagai bahan anti tumor, senyawa kitosan diusulkan sebagai untuk digunakan sebagai bahan pembuat membrane ginjal buatan, pembuatan lensa kontak baik hard lens maupun soft lens dapat dibuat dari polimer kitin, kitin dan kitosan dapat pula digunakan sebagai pembungkus kapsul karena mampu melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara terkontrol.
Di bidang pertanian dan peternakan, kitosan dapat digunakan sebagai pelapis benih yang akan ditanam sehingga terhindar dari gangguan jamur tanah, komplek kitin dengan protein dapat dicampurkan ke dalam tanah untuk mengurangi resiko serangan cacing parasit dan meningkatkan sekresi enzim kitinase pada tanaman, kitin juga ditambahkan dalam ransum ternak ayam pedaging dan petelur.
Di bidang industri pangan kitin dan kitosan telah banyak digunakan, diantaranya senyawa micro crystalin chitin (MCC) digunakan sebagai bahan pengental, pengikat, penstabil, pembentuk tekstur, kitosan pyrazines (kitin yang mengalami pirolisis) dapat digunakan sebagai pembentuk pembentuk aroma khas pada makanan panggang, globular putih kitosan yang dibentuk dengan pengendapan pada NaOH dapat digunakan sebagai beras sintetik tanpa kalori, permen (gula-gula), anggur atau jeruk sintetik tanpa gula (Angka dan Suhartono, 2000). Polimer kitin juga dapat digunakan sebagai carrier bahan makanan berkonsentrasi tinggi misalnya sebagai pembawa zat warna makanan, sebagai penyaring zat-zat yang tidak diinginkan misalnya tannin pada kopi, kitosan juga mampunenurnikan bir, jus, anggur dan sebagainya, kitosan juga dapat digunakan untuk memperbaiki kejernihan dan warna jus apel yang mempunyai efektivitas yang sama dengan silica,gelatin,atau bentonit yang biasa digunakan dalam pembuatan jus apel secara tradisional (Knorr et al, 1987).
Di bidang kosmetika kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai pengemulsi, bahan pelembab, dan emollients, sebagai bahan dalam produk sampo, kondisioner, dan perawatan rambut, karena dapat memberikan kelembutan pada rambut.
Di bidang bioteknologi kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai bahan mempercepat penyembuhan luka dan sebagai benang bedah, dengan biokonversi kitin dapat diubah menjadi protein sel tunggal yang dapat digunakan sebagai bahan pencampur dalam makanan hewan atau ikan budidaya (Brzeski, 1987), kitosan telah banyak digunakan dalam teknologi khromatografi dan imobilisasi enzim dan sel karena beberapa jenis mikroorganisme mudah melekat pada kitosan yang bermuatan positif (Angka dan Suhartono, 2000).
Kitin dan kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil, industri pembungkus makanan berupa film khusus, industri metalurgi, industri kulit, industri cat, industri makanan dan photografi (Suptijah et al. 1992).
III. METODOLOGI
3.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rajungan (cangkang) dengan berbagai tingkat kesegaran, NaOH, HCl, bahan kimia proses dan bahan kimia untuk analisa laboratorium, es, dan sebagainya.
Selain bahan tersebut diatas, juga digunakan bahan-bahan untuk merancang bangun alat seperti metal, fiber glass, karet, metal stainless steel, kawat ayam stainless steel, dan sebagainya.
3.2. Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian tahun pertama ini adalah alat pengolahan untuk uji laboratorium (tangki stainless steel, tangki fiber, kompor, drum plastik, styrofoam, aerator, pompa, ember, keranjang, dan sebagainya), alat pengukur (timbangan, termometer, timer, dan sebagainya), dan glassware (analisis).
3.3. Metode
Kegiatan yang dilakukan meliputi (1) identifikasi kebutuhan teknologi dan perangkuman hasil riset serta penyusunan konsep paket teknologi, (2) kajian sumberdaya dan penanganan bahan baku di lapangan, (3) rancang bangun alat pengolahan skala pilot plant untuk uji di laboratorium, dan (4) pemantapan proses pengolahan.
3.3.1. Identifikasi kebutuhan teknologi dan perangkuman hasil riset
Identifikasi kebutuhan teknologi dilakukan melalui pengumpulan informasi di lapangan yang diikuti dengan perangkuman hasil riset tentang proses pengolahan khitin dan khitosan, terutama hasil riset Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Hasil perangkuman ini kemudian disusun menjadi konsep awal paket teknologi pengolahan khitin dan khitosan sesuai dengan kebutuhan teknologi. Konsep paket teknologi ini dilengkapi dengan hasil telaah dari berbagai sumber pustaka, baik pustaka hasil penelitian, buku, maupun proses produksi yang telah dilakukan di lapangan.
Konsep paket teknologi ini selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Konsep paket teknologi ini disusun berdasarkan sistimatika hasil telaah pustaka, ketersediaan bahan baku, persiapan dan penanganan bahan baku, proses pengolahan, dan mutu produk.
3.3.2. Kajian sumberdaya dan penanganan bahan baku di lapangan
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan informasi mengenai sumberdaya dan praktek penanganan bahan baku yang telah dilakukan di lapangan. Pada tahap ini juga dilakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi selama ini. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan berupa jenis bahan baku, teknik penanganan, dan lain sebagainya. Selain itu dikumpulkan juga data sekunder pendukung berupa musim, sumberdaya, dan sarana prasarana.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik wawancara langsung dengan responden untuk data primer dan dengan mengumpulkan data sekunder.
3.3.3. Rancang bangun alat pengolahan skala laboratorium
Pada tahap ini dilakukan perancangan peralatan yang digunakan untuk penanganan dan pengolahan khitin dan khitosan. Rancangan peralatan ini didsarkan pada hasil identifikasi kebutuhan teknologi dan perangkuman hasil riset yang dilakukan sebelumnya. Peralatan yang dirancang adalah sebagai berikut.
1. Alat peremeg; yaitu alat yang digunakan untuk memecah cangkang, terutama cangkang kaki rajungan menjadi berukuran lebih dari 1 cm. Alat ini dirancang menggunakan roll system atau hammer system. yang dapat dioperasikan secara manual atau mekanis. Bahan menggunakan metal, kayu, fiber glass, karet, dan sebagainya.
2. Tangki demineralisasi; yaitu tangki untuk proses demineralisasi. Tangki ini dirancang dengan sistem horisontal dengan menggunakan bahan fiber glass, yang dilengkapi dengan sistem pengaduk dan keranjang pengangkat. Kapasitas tangki sekitar 500-1000 L.
3. Tangki ekstraksi multifungsi; yaitu tangki yang dirancang untuk proses ekstraksi khitin dan khitosan (proses deproteinisasi) dan sekaligus untuk proses deasetilasi. Tangki ini dirancang dengan sistem vertikal menggunakan bahan stainless steel yang dilengkapi dengan sistem pengaduk (aerasi dan agitasi), keranjang pengankut, dan pemanas. Kapasitas tangki sekitar 500 L.
4. Alat pengangkat mobiler; yaitu alat yang dirancang untuk mengangkat keranjang yang digunakan dalam proses demineralisasi, deproteinisasi maupun deasetilasi. Alat ini dirancang bersifat mobiler (dapat dipindah-pindah) dan dilengkapi katrol pengangkat yang dioperasikan secara manual. Bahan yang digunakan adalah metal.
![]() |
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan khitin dan khitosan (Chen et al., 1997; Dwiyitno et al., 2004; Gates, 1991; Oktavia et al., 2005; Wibowo, 2003; Wibowo et al., 2005)
3.3.4. Pemantapan proses pengolahan
Proses pengolahan yang digunakan adalah disusun berdasarkan hasil perangkuman hasil riset yang dilakukan sebelumnya. Namun demikian, garis besar proses tersebut adalah dengan melakukan demineralisasi cangkang rajungan yang diikuti dengan proses deproteinisasi atau sebaliknya sehingga diperoleh khitin. Khitin yang diperoleh kemudian dideasetilisasi sehingga dihasilkan khtiosan (Chen et al., 1997; Gates, 1991; Oktavia et al., 2005; Wibowo, 2003; Wibowo et al., 2005). Pemantapan proses pengolahan secara umum yang direncanakan sebagaimana tampak pada Gambar 1.
3.3.4.1. Penentuan urutan deproteinasi - demineralisasi
Pada kegiatan ini dilakukan pemantapan urutan proses, yaitu apakah proses dimulai dengan demineralisasi dahulu atau dimulai dengan deproteinasi terlebih dahulu. Produk akhir yang dihasilkan adalah khitin. Hasil dari kegiatan ini kemudian digunakan untuk kegiatan selanjutnya.
3.3.4.1.1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang rajungan kering. Cangkang rajungan yang digunakan adalah cangkang kaki besar (capit) yang diperoleh dari miniplan-miniplan pengolahan rajungan di Cirebon Jawa Barat. Jumlah cangkang yang digunakan untuk tiap perlakuan sebanyak 2 kg.
3.3.4.1.2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan ini pada dasarnya menerapkan standar prosedur ekstraksi khitin dan khitosan yang sudah pernah dilakukan. Prinsip utama pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas khitin dan khitosan dengan prosedur urutan ekstraksi yang berbeda antara proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Jumlah sample yang digunakan sebanyak 2 kg kering dengan perbandingan limbah dan larutan 1:15. Sedangkan perbandingan limbah rajungan dan HCl untuk proses demineraliasi (berat/volume) adalah 1:1.5 dan konsentrasi NaOH yang digunakan untuk proses deproteinasi sebesar 3.5%. Lama waktu ekstraksi untuk kedua proses adalah 2 jam. Suhu proses ekstraksi deproteinasi adalah 70 - 80 oC.

Gambar 2. Prosedur Ekstraksi Khitin Berdasarkan Urutan Ekstraksi
Proses ekstraksi pertama adalah deproteinasi. Cangkang rajungan yang telah dicuci bersih dimasukkan ke dalam larutan NaOH 3,5% suhu 70-80 oC selama kurang lebih 2 jam. Setelah 2 jam diekstrak dalam larutan NaOH, cangkang rajungan dicuci sampai netral atau mendekati pH sekitar 7. Proses selanjutnya adalah demineralisasi. Cangkang rajungan yang sudah netral dimasukkan ke dalam 90 l larutan HCl selama 2 jam. Perbandingan cangkang dan HCl yang digunakan adalah 1:1,5 (b/v). Setelah itu, cangkang dicuci bersih sampai netral lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Untuk mendapatkan khitin dengan tingkat kekeringan cukup, proses pengeringan yang dibutuhkan adalah kurang lebih 2 hari.
3.3.4.1.3. Pengamatan
Selama proses pemantapan dilakukan pengamatan untuk mendapatkan indikator visual yang menandai selesainya proses demineralisasi, yaitu berhentinya pembentukan gelembung gas dan bagian cangkang yang sudah lemas. Pengamatan visual untuk proses deproteinasi yang dilakukan adalah melihat perubahan warna dan sisa-sisa daging yang masih menempel pada cangkang
Pengamatan dilakukan secara visual, fisik, dan kimiawi. Pengamatan visual dilakukan untuk mengamati proses demineralisasi, yaitu dengan mengamati adanya pembentukan gas, adanya bagian dari cangkang yang masih kaku atau remah. Pengamatan fisik dilakukan untuk menguji apakan proses demineralisasi telah berlangsung dengan sempurna, yaitu dengan menguji secara fisik dengan cara meremas untuk mengetahui adanya bagian yang remah. Bagian cangkang yang remah mengindikasikan bahwa mineral masih belum dapat dihilangkan dengan sempurna.
3.3.4.2. Preparasi Bahan Baku
Kegiatan ini dilakukan untuk memantapkan preparasi bahan baku yang diperlukan sesuai dengan kondisi di lapangan. Diharapkan dari kegiatan ini diperoleh berbagai alternatif yang dapat dilakukan untuk penanganan bahan baku. Pada tahap ini dipelajari pengaruh bentuk dan kesegaran bahan baku. Produk akhir yang dihasilkan adalah khitin.
3.3.4.2.1. Pengaruh bentuk bahan baku
Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi kharakteristik bahan baku dengan berbagai bentuk bahan baku. Produk yang dihasilkan adalah khitin. Bentuk bahan baku yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut.
1. cangkang utuh - kaki besar
- punggung
- campuran kaki besar dan punggung
2. cangkang remeg - kaki besar
- punggung
- campuran kaki besar dan punggung
3.3.4.2.1.1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini untuk perlakuan cangkang utuh adalah kaki besar (capit), punggung (totok) dan campuran kaki besar dan kaki kecil. Semua bahan dalam keradaan kering. Cangkang rajungan yang digunakan diperoleh dari miniplan-miniplan pengolahan rajungan di Cirebon Jawa Barat. Jumlah cangkang yang digunakan untuk tiap perlakuan sebanyak 2 kg.
Sedangkan untuk penelitian perlakuan bahan baku remeg, bahan baku yang digunakan tetap sama. Perbedaannya hanya terletak pada bahan baku pada penelitian ini dalam keadaam remeg atau setengah hancur. Jumlah bahan yang digunakan dalam percobaan juga 2 kg kering.
3.3.4.2.1.1. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan ini pada dasarnya menerapkan standar prosedur ekstraksi khitin dan khitosan yang sudah pernah dilakukan. Prinsip utama pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas khitin dan khitosan dengan bentuk bahan baku yang berbeda yaitu utuh dan remeg. Jumlah sample yang digunakan sebanyak 2 kg kering dengan perbandingan limbah dan larutan 1:15. Sedangkan perbandingan limbah rajungan dan HCl untuk proses demineraliasi (berat/volume) adalah 1:1.5 dan konsentrasi NaOH yang digunakan untuk proses deproteinasi sebesar 3.5%. Lama waktu ekstraksi untuk kedua proses adalah 2 jam. Suhu proses ekstraksi deproteinasi adalah 70 - 80 oC.
3.3.4.2.1.2. Pengamatan
Selama proses pemantapan dilakukan pengamatan untuk mendapatkan indikator visual yang menandai selesainya proses demineralisasi, yaitu berhentinya pembentukan gelembung gas dan bagian cangkang yang sudah lemas. Pengamatan visual untuk proses deproteinasi yang dilakukan adalah melihat perubahan warna dan sisa-sisa daging yang masih menempel pada cangkang
Pengamatan dilakukan secara visual, fisik, dan kimiawi. Pengamatan visual dilakukan untuk mengamati proses demineralisasi, yaitu dengan mengamati adanya pembentukan gas, adanya bagian dari cangkang yang masih kaku atau remah. Pengamatan fisik dilakukan untuk menguji apakan proses demineralisasi telah berlangsung dengan sempurna, yaitu dengan menguji secara fisik dengan cara meremas untuk mengetahui adanya bagian yang remah. Bagian cangkang yang remah mengindikasikan bahwa mineral masih belum dapat dihilangkan dengan sempurna.
3.3.4.2.1.2. Pengaruh tingkat kesegaran bahan baku
Kegiatan ini dilakukan untuk memantapkan proses yang diperlukan untuk berbagai kondisi kesegaran bahan baku. Variasi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah cangkang segar, cangkang kering, dan cangkang yang diawetkan. Pengawetan dilakukan dengan menggunakan NaOH yang konsentrasi dan waktunya akan ditentukan berdasarkan hasil perangkuman hasil riset yang dilakukan sebelumnya.
3.3.4.2.1.2.1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis yaitu cangkang segar, cangkang kering dan cangkang awetan. Cangkang rajungan yang digunakan adalah cangkang kaki besar (capit) yang diperoleh dari miniplan-miniplan pengolahan rajungan di Cirebon Jawa Barat. Jumlah cangkang yang digunakan untuk tiap perlakuan sebanyak 2 kg.
3.3.4.2.1.2.2. Persiapan Bahan Baku
Prosedur kerja pada percobaan ini pada dasarnya menerapkan standar prosedur ekstraksi khitin dan khitosan yang sudah pernah dilakukan. Prinsip utama pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas khitin dan khitosan dengan bentuk bahan baku yang berbeda yaitu cangkang segar, awetan dan kering. Jumlah sample yang digunakan sebanyak 2 kg kering dengan perbandingan limbah dan larutan 1:15. Sedangkan perbandingan limbah rajungan dan HCl untuk proses demineraliasi (berat/volume) adalah 1:1.5 dan konsentrasi NaOH yang digunakan untuk proses deproteinasi sebesar 3.5%. Lama waktu ekstraksi untuk kedua proses adalah 2 jam. Suhu proses ekstraksi deproteinasi adalah 70 - 80 oC.
3.3.4.2.1.2.3. Pengamatan
Selama proses pemantapan dilakukan pengamatan untuk mendapatkan indikator visual yang menandai selesainya proses demineralisasi, yaitu berhentinya pembentukan gelembung gas dan bagian cangkang yang sudah lemas. Pengamatan visual untuk proses deproteinasi yang dilakukan adalah melihat perubahan warna dan sisa-sisa daging yang masih menempel pada cangkang
Pengamatan dilakukan secara visual, fisik, dan kimiawi. Pengamatan visual dilakukan untuk mengamati proses demineralisasi, yaitu dengan mengamati adanya pembentukan gas, adanya bagian dari cangkang yang masih kaku atau remah. Pengamatan fisik dilakukan untuk menguji apakan proses demineralisasi telah berlangsung dengan sempurna, yaitu dengan menguji secara fisik dengan cara meremas untuk mengetahui adanya bagian yang remah. Bagian cangkang yang remah mengindikasikan bahwa mineral masih belum dapat dihilangkan dengan sempurna.
3.3.4.3. Kajian Demineralisasi
Kegiatan ini dilakukan untuk memantapkan kondisi demineralisasi yang diperlukan berdasarkan hasil perangkuman hasil riset yang dilakukan sebelumnya. Variasi yang digunakan akan meliputi konsentrasi HCL dan lama demineralisasi. Selama pemantapan juga dilakukan pengamatan untuk mendapatkan indikator visual untuk menandai selesainya proses demineralisasi, yaitu adanya gelembung gas dan bagian cangkang yang masuk keras atau remah. Produk akhir yang dihasilkan adalah khitin.
3.3.4.3.1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang rajungan kering. Cangkang rajungan yang digunakan adalah cangkang kaki besar (capit) yang diperoleh dari miniplan-miniplan pengolahan rajungan di Cirebon Jawa Barat. Jumlah cangkang yang digunakan untuk tiap perlakuan sebanyak 2 kg.
3.3.4.3.2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan ini pada dasarnya menerapkan standar prosedur ekstraksi khitin dan khitosan yang sudah pernah dilakukan. Prinsip utama pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas khitin dan khitosan dengan perlakuan konsentrasi HCl dan wkatu ekstraksi.

Gambar 3. Diagram Alir Proses Pemantapan Demineralisasi Ekstraksi Khitin dan Khitosan
Proses ekstraksi pertama adalah deproteinasi. Cangkang rajungan yang telah dicuci bersih dimasukkan ke dalam larutan NaOH 3,5% suhu 70-80 oC selama kurang lebih 2 jam. Setelah 2 jam diekstrak dalam larutan NaOH, cangkang rajungan dicuci sampai netral atau mendekati pH sekitar 7. Proses selanjutnya adalah pemantapan demineralisasi. Cangkang rajungan yang sudah netral dimasukkan ke dalam 90 l larutan HCl dengan perbandingan (b/v) limbah rajungan dan larutan adalah 1:15 dengan variasi HCL (berat limbah/volume HCl) adalah 1:2, 1:1.75, 1:1.5. Setelah dimasukkan ke dalam tangki ekstraksi, limbah diaduk-aduk secara merata setiap 30 menit untuk memastikan semua limbah terendam dalam larutan HCl. Proses ekstraksi dilakukan dengan 2 variasi waktu yaitu 2 dan 3 jam. Setelah itu, cangkang dicuci bersih sampai netral lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Untuk mendapatkan khitin dengan tingkat kekeringan cukup, proses pengeringan yang dibutuhkan adalah kurang lebih 2 hari
3.3.4.3.3. Pengamatan
Selama proses pemantapan dilakukan pengamatan untuk mendapatkan indikator visual yang menandai selesainya proses demineralisasi, yaitu berhentinya pembentukan gelembung gas dan bagian cangkang yang sudah lemas. Pengamatan visual untuk proses deproteinasi yang dilakukan adalah melihat perubahan warna dan sisa-sisa daging yang masih menempel pada cangkang
Pengamatan dilakukan secara visual, fisik, dan kimiawi. Pengamatan visual dilakukan untuk mengamati proses demineralisasi, yaitu dengan mengamati adanya pembentukan gas, adanya bagian dari cangkang yang masih kaku atau remah. Pengamatan fisik dilakukan untuk menguji apakan proses demineralisasi telah berlangsung dengan sempurna, yaitu dengan menguji secara fisik dengan cara meremas untuk mengetahui adanya bagian yang remah. Bagian cangkang yang remah mengindikasikan bahwa mineral masih belum dapat dihilangkan dengan sempurna.
3.3.4.4. Pemantapan Deproteinasi
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui konsentrasi NaOH optimal dalam proses deproteinasi ekstraksi khitin. Penelitian ini merupakan rangkaian dari kegiatan pemantapan prosedur ekstraksi khitin dan khitosan dalam rangka scaling up produksi. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh konsentrasi NaOH optimal untuk proses deproteinasi khitin sehingga proses deproteinasi dapat berjalan sempurna dan NaOH yang digunakan tidak berlebih. Data hasil penelitian ini sangat dibutuhkan untuk skala industri karena dapat mengurangi cost terbuang sia-sia akibat penggunaan NaOH berlebih.
3.3.4.4.1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang rajungan kering. Cangkang rajungan yang digunakan adalah cangkang kaki besar (capit) yang diperoleh dari miniplan-miniplan pengolahan rajungan di Cirebon Jawa Barat. Jumlah cangkang yang digunakan untuk tiap perlakuan sebanyak 2 kg.

Gambar 4. Diagram Alir Proses Pemantapan Deproteinasi Ekstraksi Khitin dan Khitosan
3.3.4.4.2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan ini pada dasarnya menerapkan standar prosedur ekstraksi khitin dan khitosan yang sudah pernah dilakukan. Prinsip utama pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas khitin dan khitosan dengan perlakuan konsentrasi NaOH dan wkatu ekstraksi.
Limbah rajungan kering yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam tangki ekstraksi yang telah di isi larutan NaOH panas suhu 70-80 oC. Perbandingan berat/volume limbah rajungan dan larutan adalah 1:15 dengan variasi konsentrasi NaOH adalah 3.5, 5, 6.5%. Setelah dimasukkan ke dalam tangki ekstraksi, limbah diaduk-aduk secara merata setiap 30 menit untuk memastikan semua limbah terendam dalam larutan NaOH. Proses ekstraksi dilakukan dengan 2 variasi waktu yaitu 2 dan 3 jam. Setelah proses ekstraksi selesai, limbah dicuci sampai netral lalu dilakukan proes selanjutnya yaitu demineralisasi. Cangkang rajungan yang sudah netral dimasukkan ke dalam 90 l larutan HCl selama 2 jam. Perbandingan cangkang dan HCl yang digunakan adalah 1:1,5 (b/v). Setelah itu, cangkang dicuci bersih sampai netral lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Untuk mendapatkan khitin dengan tingkat kekeringan cukup, proses pengeringan yang dibutuhkan adalah kurang lebih 2 hari.
3.3.4.4.3. Pengamatan
Selama proses pemantapan dilakukan pengamatan untuk mendapatkan indikator visual yang menandai selesainya proses demineralisasi, yaitu berhentinya pembentukan gelembung gas dan bagian cangkang yang sudah lemas. Pengamatan visual untuk proses deproteinasi yang dilakukan adalah melihat perubahan warna dan sisa-sisa daging yang masih menempel pada cangkang
Pengamatan dilakukan secara visual, fisik, dan kimiawi. Pengamatan visual dilakukan untuk mengamati proses demineralisasi, yaitu dengan mengamati adanya pembentukan gas, adanya bagian dari cangkang yang masih kaku atau remah. Pengamatan fisik dilakukan untuk menguji apakan proses demineralisasi telah berlangsung dengan sempurna, yaitu dengan menguji secara fisik dengan cara meremas untuk mengetahui adanya bagian yang remah. Bagian cangkang yang remah mengindikasikan bahwa mineral masih belum dapat dihilangkan dengan sempurna.
3.3.4.5. Kajian Deasetilasi
Kegiatan ini dilakukan untuk memantapkan kondisi deasetilasi yang diperlukan berdasarkan hasil perangkuman hasil riset yang dilakukan sebelumnya. Variasi yang digunakan akan meliputi konsentrasi NaOH dan lama deasetilasi. Produk akhir yang dihasilkan adalah khitosan.
3.3.4.5.1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah khitin yang berasal dari proses tahapan ekstraksi terpilih hasil penelitian sebelumnya. Cangkang rajungan yang digunakan adalah cangkang kaki besar (capit) yang diperoleh dari miniplan-miniplan pengolahan rajungan di Cirebon Jawa Barat. Jumlah cangkang yang digunakan untuk tiap perlakuan sebanyak 2 kg.
3.3.4.5.2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan ini pada dasarnya menerapkan standar prosedur ekstraksi khitosan yang sudah pernah dilakukan. Prinsip utama pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas khitosan dengan perlakuan konsentrasi NaOH dan waktu ekstraksi.
Khitin hasil penelitian pendahuluan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam tangki ekstraksi yang telah di isi larutan NaOH panas suhu 110 oC. Konsentrasi NaOH yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50% dan 60%. Proses ekstraksi dilakukan dengan 2 variasi waktu yaitu 8 dan 10 jam. Setelah proses ekstraksi selesai, limbah dicuci sampai netral lalu dilakukan proses selanjutnya yaitu pengeringan. Cangkang yang sudah netral lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang klebih 2 hari.
3.3.4.5.3. Pengamatan dan Analisis
Analisa yang dilakukan meliputi rendemen, viskositas, derajad deasetilasi, total N dan kandungan mineral (metoda pengabuan). Viskositas kitosan diukur dengan Brookfield viscometer (model LVF seri : 88883, menggunakan spindel no. 3 (Kyoon et al., 2003). Derajad deasetilasi ditentukan dengan menggunakan metoda FTIR (Muzzarelli, 1977).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi Sumberdaya
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan informasi mengenai sumberdaya dan praktek penanganan bahan baku yang telah dilakukan di lapangan. Pada tahap ini juga dilakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi selama ini. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan berupa jenis bahan baku, teknik penanganan, dan lain sebagainya. Selain itu dikumpulkan juga data sekunder pendukung berupa musim, sumberdaya, dan sarana prasarana. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik wawancara langsung dengan responden untuk data primer dan dengan mengumpulkan data sekunder.
Kegiatan identifikasi sumber daya telah dilakukan di beberapa lokasi yang dianggap sebagai lokasi potensial bagi pengembangan teknologi ekstraksi khitin dan khitosan. Banyak pertimbangan mengapa identifikasi dilakukan dan mengapa hanya daerah-daerah tertentu yang dijadikan sebagai tempat penelitian. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adalah ketersediaan sumber daya dan fasilitas pendukung seperti air, listrik, gedung dan tanahnya serta akses transportasi dan komunikasi.
Survey potensi sumber daya telah dilakukan di daerah Cilamaya (Jawa Barat). Karang Hantu (Banten), Ketapang (Kalbar), Samarindah (Kaltim), Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, Cirebon, Surabaya dan Semarang. Hampir semua dari lokasi di atas merupakan daerah penghasil rajungan di Indonesia.
4.1.1. Cilamaya, Jawa Barat
A. Keadaan Umum
Cilamaya merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten kerawang yang terdapat di pesisir utara Pulau Jawa. Komoditas unggulan kelautan yang mulai berkembang di daerah ini adalah rajungan. Hal ini ditunjukkan dengan menjamurnya miniplant-miniplant pengolahan daging rajungan untuk tujuan ekspor. Jumlah miniplan yang terdapat di daerah ini berjumlah 16 buah tersebar di pesisir pantai utara Karawang.
Semua miniplan yang beroperasi di daerah ini berada di bawah pengawasan dan manajemen perusahaan penampung daging. Terdapat empat perusahaan yang bergerak di bisnis ini yaitu PT. Phillips, PT. Kelola Mina Laut, PT. Tonga Tiur P dan PT. Windika Utama. Biasanya, perusahaan menyediakan peralatan, teknik pengolahan serta manajemen usaha yang diberikan kepada pengusaha miniplan. Peralatan yang diberikan kemudian dibayar dengan cara mengangsur sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan.
Hampir semua miniplan di Kabupaten Karawang berlokasi di Desa Pasir Putih Kecamatan Cilamaya. Jumlah miniplan yang beroperasi di desa ini sebanyak 13 buah, salah satunya adalah PT. Mina Laut. Miniplan ini berada di bawah manajemen PT. Kelola Mina Laut (KML). Produksi rata-rata pengolahan rajungan per hari sekitar 2 kwintal dan pada musim rajungan bisa mencapai 6-7 kwintal. Miniplan ini memiliki 4 ruang pengolahan yang dihubungkan dengan pintu tirai plastik. Masing-masing ruangan pengolahan terdapat 2 meja preparasi berkapasitas 10 orang pengolah. Total luas ruang pengolahan rajungan miniplan Mina Laut berkisar kurang lebih 8 x 8 m2.
B. Pengolahan Rajungan
Raw material rajungan diperoleh dari para nelayan dan pengepul langganan yang mengantar langsung ke miniplan. Ada dua jenis rajungan yang diperjualbelikan yaitu fresh crab (rajungan segar) dan cooked crab (rajungan rebus). Sebagian rajungan dijual dalam bentuk cooked untuk menghindari terjadinya penurunan mutu akibat llamanya waktu perjalanan dari tempat pelelangan ke miniplan pengolah rajungan. Rajungan yang telah mengalami penurunan mutu dijual dengan harga yang sangat murah. Harga per kilo untuk fresh crab Rp. 22.000 dan Rp. 25.000 untuk cooked crab. Harga rajungan sangat berfluktuasi mengikuti harga pasar.
Perebusan rajungan menggunakan tangki stainless yang disuplai dari perusahaan penampungan. Rajungan dikukus menggunakan air tawar selama 25 menit untuk 50 kg rajungan. Setelah itu rajungan ditiriskan sambil diangin-angin untuk mengurangi panas akibat perebusan. Dari satu ekor rajungan menghasilkan 11 jenis daging yang berbeda-beda. Masing-masing jenis daging ini memiliki harga jual yang berbeda pula. Berikut disajikan tabel jenis-jenis daging rajungan.
Standar kualitas daging rajungan untuk masing-masing perusahaan penampung daging berbeda-beda. PT. Philips Morris menetapkan standar kualitas daging lebih tinggi dibandingkan kompetitor-kompetitor lainnya. Hasil wawancara dengan pemilik miniplan PT. Mina Laut (1 Maret 2006), sudah dua bulan terakhir PT. Philips menolak daging rajungan olahan yang diproduksi miniplan tersebut dengan alasan kualitas daging rendah, ketidaksesuaian harga serta stock daging PT. Philips masih tinggi.
Tabel 2. Pengelompokkan Jenis-jenis Daging Rajungan
No | Jenis daging | Keterangan |
1 | Jumbo | Daging dada dan paha |
2 | Reguler A | Daging dada kecil |
3 | Reguler B | Daging dada kecil |
4 | Claw meat C | Daging capit merah |
5 | Claw meat B | Daging capit merah |
6 | Black fine | Hancuran daging jumbo |
7 | Special lamb | Daging dada utuh |
8 | Merus | Daging capit atas |
9 | Carpus | Daging capit |
10 | Kaki renang | Daging kaki dayung |
11 | Claw finer | Daging capit + capitnya |
C. Limbah Rajungan
Limbah cangkang rajungan yang dihasilkan dari semua miniplan cukup tinggi, per hari bisa mencapai 3 ton cangkang basah (600 kg cangkang kering). Jumlah ini cukup signifikan untuk pengembangan industri pengolahan ekstraksi chitin dan chitosan. Selain ketersediaan bahan baku mencukupi, tingkat kesegaran bahan baku yang tinggi serta biaya transportasi mendekati nol juga menjadi penentu keberhasilan pengembangan industri ini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Narmin, satu-satunya pengumpul cangkang untuk wilayah Cilamaya, cangkang diperoleh dari berbagai miniplan yang tersebar dari pesisir laut Cilamaya sampai dengan Subang. Biasanya, cangkang diantar para pengumpul kecil ke lokasi penampungan milik Pak Narmin di desa Pasir Putih. Cangkang diterima dalam keadaan basah. Selanjutnya, cangkang dijemur di bawah terik sinar matahari selama 1 hari. Setelah proses pengeringan selesai, cangkang kering dimasukkan ke dalam karung goni besar kapasitas 30 kg/karung.
Selama ini ada dua jenis pemanfaatan limbah rajungan, pertama cangkang untuk diolah lebih lanjut terdiri dari cangkang punggung remuk, cangkang kaki jalan, capit dan cangkang perut. Biasanya dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pakan dan sebagian mulai dimanfaatkan untuk bahan baku chitosan (Cirebon ). Kedua, cangkang punggung utuh yang dimanfaat sebagai wadah makanan di berbagai restoran Jakarta . Harga jual cangkang kering berkisar Rp. 1.500/kg dan cangkang punggung utuh dilepas dengan harga Rp. 100/buah.
Sebagian besar cangkang di jual ke Jakarta dan sisanya di jual ke Cirebon . Karena tingginya permintaan cangkang, biasanya 10 hari sebelum pembelian, para penampung dari Jakarta dan Cirebon harus memesan terlebih dahulu. Jika pesanan sudah disiapkan, mereka baru datang mengambil cangkang untuk dibawa ke Jakarta atau Cirebon . Menurut informasi yang diperoleh, cangkang rajungan sebagian diekspor ke Korea dalam bentuk cangkang utuh. Hal ini disebabkan kekhawatiran mereka akan cangkang palsu (campuran benda asing) jika dikirim dalam bentuk tepung.
4.1.2. Cirebon
Observasi sumber daya bahan baku di daerah cirebon khususnya untuk rajungan cukup potensial bagi pengembangan industri khitin dan khitosan. Di daerah ini tersebar beberapa miniplan pengolahan daging serta pengalengan daging rajungan yang merupakan sumber bahan baku. Estimasi limbah rajungan yang dihasilkan dari semua miniplan cukup besar. Hampir semua miniplan yang ada di daerah ini binaan perusahaan pengalengan daging rajungan seperti PT. Philips Seafood, PT. Kelolamina dll. Terdapat hanya satu miniplan mandiri yang mempunyai manajemen sendiri. Perusaan ini mengirim sendiri rajungan kaleng ke Amerika Serikat.
Di Kabupaten Cirebon juga terdapat pabrik pengolahan khitin dan khitosan yang bernama PT. Vital House Indonesia. Pabrik ini cukup besar yang ditunjukkan dengan produksi khitosan yang cukup besar. Raw material yang digunakan berasal dari limbah rajungan dan udang. Berdasarkan hasil pengamatan, mutu khitosan yang dihasilkan kebanyakan untuk khitosan non food grade.
4.1.3. Bangka Belitung
Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi ini terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka yang merupakan tempat ibukota provinsi dan Pulau Belitung. Pulau Bangka terbagi atas 4 kabupaten yaitu Kabupaten Bangka Induk, Kab. Bangka Selatan, Kab. Bangka Tengah dan Kab. Bangka Barat. Sedanngkan Pulau Belitung terdiri dari 2 kabupaten yaitu Kab. Belitung dan Kab. Belitung Timur.
Bangka Belitung merupakan provinsi kepulauan, karenanya dari dulu provinsi ini sudah terkenal dengan hasil lautnya seperti ikan kakap, cumi-cumi, rajungan dan tangkapan laut lainnya. Pemanfaatan sumberdaya rajungan sudah di mulai sejak tahun 1996 yang ditandai dengan mulai bermunculannya industri-industri pengolahan rajungan baik itu hanya menempatkan perwakilan maupun mendirikan miniplan-miniplan yang berada di bawah pengawasan dan manajemen industri induk. Tercatat ada beberapa perusahaan yang bergerak di bisnis ini antara lain PT. Philips Seafood, PT. Kelola Mina Laut, PT. Toga Tiur Putra (TTP), PT. TSP, PT. MGM. Dari semua perusahaan ini yang masih beroperasi sampai sekarang PT. Philips, PT. Toga Tiur Putra dan PT. PSP. Akhir-akhir ini jumlah produksi rajungan mulai berkurang dibandingkan saat dimulainya usaha ini.
A. Potensi rajungan di Pulau Bangka
Daerah penghasil rajungan di Pulau Bangka tersebar di beberapa titik. Daerah penghasil rajungan wilayah Bangka antara lain Sadai, Tanjung Sangkar, Permis (Bangka Selatan), Lubuk, Tanjung Beriga, Tanjung Berikat, Penyak, Arung Dalam, Kurau, Sungai Selan (Bangka Tengah), Tempilang, Mentok, Belinyu, Sungailiat, Kemuja (Bangka Barat dan Bangka Induk).
Sama halnya dengan produk perikanan lainnya, hasil tangkapan rajungan nelayan sangat tergantung pada musim. Bila di daerah selatan pulau Bangka hasil tangkapan tinggi, di bagian bagian utara hasil tangkapan lebih sedikit. Biasanya musim rajungan di mulai pada Bulan April sampai dengan akhir tahun. Pada musim ini total hasil tangkapan yang disetor nelayan ke miniplan per hari mencapai 700-800 kg/miniplan. Tahun 1996-2002 produksi rajungan per miniplan mencapai 2 ton per hari. Pada masa itu, total jumlah miniplan binaan PT. Phlips saja sebanyak 25 miniplan ditambah dengan miniplan binaan perusahaan lain.
Saat ini jumlah miniplan binaan PT. Philip yang masih beroperasi sebanyak 6 buah dari 10 miniplan yang ada. Dari 6 miniplan yang beroperasi hanya 3 miniplan yang menerapkan standar produksi sesuai dengan ketentuan kelayakan usaha pengolahan perikanan. Ketiga miniplan tersebut masing-masing berlokasi di Desa Arung Dalam (Bangka Tengah), Desa Sadai (Bangka Selatan) dan Desa Kemuja (Bangka Barat). Nilai produksi masing-masing miniplan per hari berkisar 40 kg daging untuk miniplan Arung Dalam, 100 kg untuk miniplan Sadai dan 400 kg untuk miniplan di Desa Kemuja. Produksi daging rajungan pada miniplan kemuja lebih tinggi karena bahan baku yang diperoleh tidak hanya berasal dari nelayan Bangka saja tapi juga berasal dari daerah sungai Batang, Palembang. Para nelayan palembang mengirim rajungan hasil tangkapan ke Bangka karena angkutan darat untuk mengirim rajungan ke Lampung sudah tidak beroperasi lagi karena ongkos angkutan yang tinggi. Pada saat produksi rajungan tinggi, pengiriman rajungan ke Lampung dari Bangka menggunakan angkutan darat. Rajungan yang dikirim dalam bentuk rajungan utuh rebus yang dihilangkan cangkangnya (deback).
B. Miniplan dan Sumberdaya
Miniplan binaan PT. Philips yang mempunyai siklus produksi secara kontinyu tiap hari terdapat tiga buah, dua diantaranya miniplan kapasitas produksi kecil, sisanya dengan kapasitas cukup besar. Jumlah tenbaga kerja yang dibutuhkan untuk miniplan kapasitas kecil sebanyak 16 orang dan miniplan kapasitas produksi besar sebanyak 60 orang. Ketiga miniplan ini menyerap hampir semua produksi rajungan di Pulau Bangka .
Sumber raw material biasanya diantar sendiri oleh nelayan ke miniplan dan apabila hasil tangkapan banyak, pihak miniplan akan menjemput sendiri ke nelayan. Bila tempat pengumpulan rajungan berlokasi jauh dari miniplan, biasanya rajungan yang dikirim ke miniplan adalah rajungan rebus, sedangkan bila kokasi pengumpulan rajungan berlokasi cukup dekat dengan miniplan, rajungan yang dikirim dalam keadaan hidup.
4.1.4. Karang Hantu, Kerawang
Di Kecamatan Karangantu terdapat 2 buah miniplant pengolah rajungan yaitu milik H. Harun dan milik Bp. Samun (di Kasemin). Miniplant H. Harun merupakan yang tertua (berdiri sekitar 5 tahun yang lalu), sedangkan milik Bp. Samun baru beroperasi sekitar 2 tahun. Sementara itu di Kec. Pontang (Kab. Tangerang) juga terdapat 2 unit miniplant.
Miniplant-miniplant yang ada umumnya hanya mengerjakan kegiatan pengambilan daging rajungan untuk selanjutnya dikirim ke PT. Philips (Pemalang/Kerawang). Bahan baku rajungan diperoleh dari nelayan setempat dengan lokasi tangkapan utama di P. Lima . Rajungan ditangkap dengan menggunakan jarring pada kedalaman 7 meter. Jenis rajungan yang ada terdiri dari 2 macam, yairu rajungan biasa (totol-totol) dan batik. Harga bahan baku rajungan biasa sekitar 20 ribu per kg, sedangkan rajungan batik sekitar 25 ribu per kg.
Proses pengolahan rajungan adalah sebagai berikut :
1. Bahan baku
2. Pengukusan 15-30 menit per 20-40 kg
3. Pensortiran untuk memisahkan rajungan yang bertelur
4. Pengupasan berdasarkan bagian tubuhnya (ada 8 bagian)
5. Pengepakan dan pelabelan
6. Penyimpanan dalam peti pendingin
7. Pengiriman
Rendemen daging rajungan sekitar 15-20%, tergantung ukuran dan kualitas bahan baku.
Masalah yang dihadapi para pengolah adalah menurunnya ketersediaan bahan baku . Pada musim kurang, produksi per hari bisa kurang dari 30 kg, sedangkan pada musim puncak (sekitar April-Juni) dapat mencapai 1 ton. Rata-rata produksi adalah 2-3 kwintal per hari. Pada saat kunjungan, produksi hanya 50 kg/hari. Disamping itu keberadaan es juga sedikit menjadi masalah. Pada waktu PPI masih memproduksi es, harga es yang dijual PPI lebih murah dengan kualitas yang lebih baik dari es yang dijual swasta. Disamping menghadapi masalah kerusakan alat produksi es, PPI juga dihadapkan pada sumber air es yang mulai asin/payau.
Limbah rajungan yang dihasilkan dari miniplant H. Harun selama ini ditampung oleh saudaranya. Setelah dijemur hingga kering (1-2 hari), limbah tersebut biasanya ada yang membeli untuk digunakan sebagai campuran pakan ternak. Harga limbah raungan kering adalah Rp 1.500/kg. Data produksi tahunan yang dimiliki PPI Karangantu saat ini sedang dikerjakan dan direncanakan selesai pada bulan April 2006.
4.1.5. Semarang, Jawa Tengah
A. Potensi
Propinsi Jawa Tengah memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Hal ini ditunjukkan pada sumbangan propinsi ini terhadap ekspor hasil perikanan yang terus meningkat, seperti pada Tabel berikut:
Tabel 3. Volume Ekspor Hasil Perikanan Provinsi Jawa Tengah
No | Tahun | Volume (Ton) | Nilai (1000 US$) |
1 | 2002 | 14.542 | 60.072 |
2 | 2003 | 17.118 | 56.694 |
3 | 2004 | 20.603 | 89.659 |
Rata-rata Peningkatan (%) | + 19,03 | + 26,26 |
Di Jawa Tengah terdapat 23 perusahaan eksportir produk perikanan. Tujuh perusahaan merupakan eksportir udang, yaitu: PT. Aorta, PT. Misaji Prima, PT. Seafer GF, PT. Fishindo Makmur Sentosa, dan PT Toxindo Prima yang bergerak pada komoditas udang. Sedangkan PT Windika Utama, PT. Phillips Seafoods dan PT. Tongatiur Putra bergerak pada komoditas rajungan. USA, Eropa dan Asia merupakan negara tujuan ekspor produk udang dan rajungan dari Jawa Tengah. Volume ekspor komoditas crustacea (udang dan rajungan) Jawa Tengah, adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Volume Ekspor Komoditas Crustacea Provinsi Jawa Tengah
No | Komoditas | 2003 (Ton) | 2004 (Ton) |
1 | Udang | 2.500 | 11.200 |
2 | Rajungan | 1.300 | 2.000 |
Total | 3.800 | 13.200 |
Dari ketujuh perusahaan pengolah udang hanya satu perusahaan (PT Fishindo Makmur Sentosa) yang berlokasi di Semarang. Sedangkan dari ketiga perusahaan pengolah rajungan (pengalengan), hanya PT. Windika Utama (PT WU) yang berlokasi di Semarang. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku rata-rata 1,5 ton daging perhari, perusahaan mengandalkan pada pasokan dari 86 miniplant yang tersebar mulai dari Tegal hingga Kalimantan dan Sumbawa (NTT). Miniplant-miniplant tersebut mengirimkan bahan baku ke pabrik dalam bentuk daging kupas. Proses pengolahan di miniplant seperti pada umumnya yaitu: sortasi (untuk memisahkan rajungan BS), pengukusan (15 menit per 20 kg rajungan), sortasi (pemisahan telur serta daging lunak), pengupasan, pengepakan dan pengriman ke pabrik. Selanjutnya pabrik mengolahnya menjadi rajungan kaleng. Kapasitas perusahaan ini sebenarnya adalah 2,5 ton per hari. Selain di Semarang, PT. Windika juga mendirikan pabrik pengalengan di Tanjung Bintang (kapasitas 1,5 ton) dan Ujung Pandang (1,5 ton). PT Windika sendiri mulai terjun pada usaha pengalengan rajungan sejak tahun 1996, setelah sebelumnya bergerak pada pengolahan teri asin.
Diantar daerah-daerah sumber bahan baku, Demak, Rembang dan Pasuruan merupakan daerah potensial sebagai pemasok bahan baku. Di Semarang sendiri hanya terdapat 2 buah miniplant, yaitu di daerah Mangkang (Semarang Barat) milik Bp. Sugiyono serta di daerah Terboyo milik H. Cholik. Diantara kedua miniplant tersebut, yang pertama merupakan miniplat aktif PT Windika serta produksinya lebih kontinyu dari pada miniplant kedua. Miniplant ini tidak pernah mengirimkan produknya selain ke PT WU (sejak tahun 1996), sementara yang kedua kadang-kadang mengirimkan produknya ke perusahaan lain (Phillips dan Tongatiur) serta produksinya relatif tidak kontinyu. Miniplant pertama dirintis sejak tahun 1986 sebelum ada usaha pengalengan rajungan. Pada tahun 1989 miniplant ini dibina dan menjadi pemasok PT Jaya Sakti, Pekalongan. Seiring dengan menurunya aktifitas PT Jaya Sakti, pada tahun 1994 beralih menjadi pemasok PT Phillips, Pemalang. Terakhir pada tahun 1996 beralih menjadi pemasok PT WU. Keterikatan psikologis merupakan alasan utama miniplant ini untuk tidak tergiur kepada perusahaan lain.
Kapasitas produksi rajungan dari daerah Semarang tidak cukup besar. Rata-rata dalam sehari miniplant hanya memasok daging rajungan sebayak 40-60 kg atau sekitar 150-200 kg rajungan. Rajungan ini diperoleh dari sekitar 30 orang nelayan yang khusus menangkap rajungan di sekitar perairan Semarang. Bahkan pada musim langka (kemarau) bisa hanya menghasilkan 15 kg daging per hari. Sedangkan pada musim puncak (Oktober-Januari) produksi rajungan di Semarang sekitar 100-150 kg daging per hari atau sekitar 300-500 kg rajungan. Saat ini (bulan Agustus) musim puncak produksi rajungan diperkirakan terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Harga rajungan segar di Semarang saat ini berkisar antara Rp 20.000,- s.d. 23.000,- per kg (tergantung ukuran).
B. Limbah
Penanganan limbah merupakan hal yang perlu dicermati. Permasalahan limbah pulalah yang menjadi salah satu alasan beberapa perusahaan pengalengan rajungan lebih memilih menerima bahan baku dalam bentuk daging kupas dari pada rajungan utuh. Bau menyengat yang ditimbulkan dari limbah sering menjadi pangkal perselisihan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. Akibatnya perusahaan sering diprotes oleh warga karena bau yang ditimbulkan oleh limbah (cangkang, kaki, sisa pengupasan). Sampai saat ini pemanfaatan limbah rajungan masih sangat sederhana. Miniplant mengumpulkannya dalam bentuk kering setelah dijemur beberapa hari. Limbah kering selanjutnya dijual ke perusahaan penepungan dengan harga Rp 1.200,- per kg (kering). Dalam waktu setahun, miniplant mampu mengumpulkan sebanyak 1 ton limbah kering. Pada tahun 2004-2005 pernah ada permintaan dari Amerika terhadap cangang (totok) yang digunakan untuk keperluan restoran. Sementara beberapa tahun yang lalu juga pernah dilakukan pemanfaatan limbah rajungan sebagai campuran pupuk pertanian (Tampingan, Boja). Begitu juga dengan limbah dari pengolahan udang dari PT. Fishindo Makmur Sentosa. Sejauh ini pemanfaatan limbah baru digunakan sebagai pakan itik maupun untuk industri penepungan yang berlokasi di Kampung Karang Gempel, Losari – Cirebon (H. Kasudi).
C. Permasalahan
Kecenderungan produksi rajungan yang terus menurun dari tahun ke tahun sangat dirasakan oleh nelayan, miniplant maupun pabrik. Akibatnya pasokan daging rajung ke pabrik pun juga menurun. Puncak produksi dirasakan pada tahun 2002-2003. Overfishing serta penagkapan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian sumber daya disinyalir sebagai penyebab utama menurunnya produksi rajungan di hampir seluruh daerah. Hal ini ditandai dengan jumlah rajungan yang ditangkap semakin sedikit serta ukurannya semakin kecil.
4.1.6. Jawa Timur
Kegiatan identifikasi sumber daya telah dilakukan di beberapa lokasi yang dianggap sebagai lokasi potensial bagi pengembangan teknologi ekstraksi khitin dan khitosan. Banyak pertimbangan mengapa identifikasi dilakukan dan mengapa hanya daerah-daerah tertentu yang dijadikan sebagai tempat penelitian. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adalah ketersediaan sumber daya dan fasilitas pendukung seperti air, listrik, gedung dan tanahnya serta akses transportasi dan komunikasi.
Potensi limbah rajungan di daerah Jawa timur cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya miniplan-miniplan pengolahan rajungan yang tersebar di sepanjang pantai utara jawa mulai dari Gresik, Pasuruan, Tuban bahkan sampai kepulauan Madura. Rata-rata hampir semua miniplan di Jawa Timur di bawah manajemen PT Kelola Mina Laut (KLM). Berkebalikan dengan daerah barat Jawa yang lebih didominasi olah PT. Philips Seafood.
PT. KLM yang bermarkas di Gresik, bergerak di bidang pengolahan hasil perikanan mulai dari ikan-ikanan, kerang-kerangan dan rajungan. Hampir semua produk yang dihasilkan untuk tujuan ekspor, terutama rajungan. Produk rajungan yang diproduksi di PT KLM adalah rajungan dalam kemasan kaleng. Sumber bahan baku sebagian besar diperoleh di Jawa Timur dan sisanya disuplai dari Jawa Tengah.
Salah satu miniplan binaan PT. KLM adalah Miniplan Pak Parno. Miniplan ini berlokasi di Ddesa Banyu Asih Kecamatan Sedayu Kabupaten Gresik. Miniplan yang awalnya bergerak dalam bidang produk olahan ikan dan kerang-kerangan ini sudah cukup lama berdiri tetapi baru empat tahun terakhir lebih memfokuskan diri di bidang pengolahan rajungan. Di tempat ini, proses pengolahan yang dilakukan hanya pengupasan daging, untuk proses pengalengan dilakukan oleh PT Kelola Mina Laut sendiri di pabriknya Gresik.
Sumber bahan baku diperoleh miniplan Pak Parno diperoleh dari para nelayan yang melaut di sekitar Kecamatan Sedayu. Para nelayan ini sudah memiliki ikatan psikologis dengan miniplan karena hampir semua peralatan melautnya disuplai dari miniplan yang dibiayai oleh PT KML. Sistem “kontrak” seperti ini cukup mujarab untuk mengikat para nelayan untuk tidak menjual hasil tangkapannya ke pengepul di luar binaan PT KML.
Produksi per hari miniplan Pak Parno pada musim rajungan bisa mencapai 3-4 ton tetapi bila tidak musim produksi harian relatif kecil hanya berkisar 1-3 kwintal rajungan. Dengan jumlah pegawai kurang lebih 100 orang, miniplan ini sanggup mengolah rajungan sampai 4 ton per hari. Bila sedang tidak musim, sistem kerja aplusan diberlakukan untuk efisiensi miniplan maupun para pekerjanya sendiri. Jam kerja miniplan sangat bergantung pada suplai raw material, tetapi rata-rata pengupasan dilakukan pada pagi sampai sore.
Sampai saat ini limbah rajungan baru dimanfaatkan untuk pembuatan pakan dan “kosmetik”. Kurang begitu jelas pemanfaatan kosmetik seperti apa ketika kami menanyakan kepada para pengumpul rajungan. Cangkang rajungan kering dijual Rp. 1500/kg dari para pengumpul. Total produksi cangkang rajungan untuk wilayah Kecamatan Sedayu bisa mencapai 1 ton per minggu. Selama ini, cangkang-cangkang tersebut dijual ke daerah Malang dan Surabaya. Biasanya para pembeli mengambil langsung cangkang tersebut ke Pengumpul.
Selain cangkang rajungan, Limbah perikanan yang belum termanfaatkan sampai saat ini adalah cangkang kerang. Jumlah sangat besar, bahkan bisa mencapai 30 ton perh hari bila sedang musim. Masyarakat sekitar memanfaakan limbah ini untuk menguruk tanah tetapi sebagian besar terbuang begitu saja.
4.1.6. Samarindah, Kalimantan Timur
Berdasarkan hasil diskusi dengan dengan pihak karantina ikan bandara di Balikpapan menyebutkan bahwa sampai saat ini belum kegiatan ekspor rajungan olahan ke luar negeri. Biasanya, komoditas ini diekspor dalam keadaan hidup. Hasil survey lapangan menunjukkan potensi bahan baku yang paling potensial untuk ekstraksi khitosan adalah limbah udang. Produksi per hari limbah udang di daerah ini berkisar 2 – 3 ton. Jumlah ini cukup potensial untuk pengembangan industri pengolahan khitin dan khitosan.
Potensi rajungan di Provinsi Kalimantan Timur kurang bahkan hampir tidak ada. Komoditas perikanan yang berkembang di daerah ini adalah jenis udang-udangan. Di Provinsi ini terdapat beberapa pabrik pengolahan udang yang dilengkapi dengan cold storage. Jenis udang olahan yang dihasilkan adalah udang kupas (hampir 75%) yang menghasilkan limbah kulit yang cukup besar. Udang-udang ini sebagian besar berasal dari Tarakan dan daerah sekitarnya. Dengan jumlah limbah (kulit) udang yang cukup besar, kemungkinan untuk mendirikan industri pengolahan khitosan cukup visible. Selain sumber daya tersedia, dukungan pemerintah Kaltim akan pembangunan dunia perikanan bisa dijadikan sebagai jaminan investasi.
4.1.7. Pontianak, Kalimantan Barat
Kegiatan koordinasi yang dilakukan berupa pertemuan dan diskusi yang dilaksanakan di Dinas Perikanan dan Kelautan Ketapang. Acara ini dihadiri oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan beserta staf, SMK Perikanan, Nelayan dan peserta umum.
Pertemuan diawali dengan pemaparan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ketapang mengenai potensi sumberdaya dan rencana-rencana pengembangan industri perikanan di Kabupaten Ketapang. Kepala sekolah SMK juga menyampaikan tentang potensi limbah rajungan yang melimpah tetapi belum teermanfaatkan secara maksimal. Presentasi kemudian dilanjutkan oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) mengenai pengembanagn industri khitosan di Indonesia . Terakhir, presentasi disampaikan oleh Dr. Singgih Wibowo. Beliau juga seorang peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Materi yang disampaikan adalah rencana riset dan kemungkinan pelaksanaan pilot plant pengolahan khitin dan khitosan mengingat sumberdaya bahan baku tersedia cukup banyak.
Kegiatan observasi dan survey potensi sumber daya dilakukan dengan mengunjungi miniplant dan mainplant. Kunjungan atau observasi ke miniplant untuk mendapatkan data-data potensi bahan baku sedangkan untuk mainplan observasi dilakukan di PT. Philips Seafood. Usaha pengolahan perikanan di kabupaten Ketapang sudah cukup berkembang. Di Kabupaten ini terdapat sekitar 7 miniplan pengolahan rajungan dan satu cold storage untuk pengolahan udang. Potensi sumberdaya rajungan di Kabupaten Ketapang masih tergantung pada musim, belum ada usaha budidaya atau pembesaran.
Sampai saat ini, limbah crustacea belum dimanfaatkan secara maksimal kecuali sebagai bahan tambahan pakan. Harganya pun cukup rendah yaitu sekitar Rp. 200 – Rp. 250 per kilogram. Kegiatan pengumpulan limbah mulai dirintis oleh SMK tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal padahal potensi bahan baku limbah ini cukup menjanjikan.
4.2. Identifikasi kebutuhan teknologi dan perangkuman hasil riset serta penyusunan konsep paket teknologi
Identifikasi kebutuhan teknologi dilakukan melalui pengumpulan informasi di lapangan yang diikuti dengan perangkuman hasil riset tentang proses pengolahan khitin dan khitosan, terutama hasil riset Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan serta hasil-hasil penelitian di luar balai ioni seperti perguruan tinbggi atau institusi penelitian yang lain. Hasil perangkuman ini kemudian disusun menjadi konsep awal paket teknologi pengolahan khitin dan khitosan sesuai dengan kebutuhan teknologi. Konsep paket teknologi ini dilengkapi dengan hasil telaah dari berbagai sumber pustaka, baik pustaka hasil penelitian, buku, maupun proses produksi yang telah dilakukan di lapangan.
Konsep paket teknologi ini selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Konsep paket teknologi ini disusun berdasarkan sistimatika hasil telaah pustaka, ketersediaan bahan baku, persiapan dan penanganan bahan baku, proses pengolahan, dan mutu produk.
Dari hasil identifikasi dan perangkuman hasil riset, salah satu out put yang akan dihasilkan pada tahun ini adalah buku panduan teknis (paket teknologi) ekstraksi khitin dan khitosan yang akan menjadi pedoman teknologi pengolahan khitin dan khitosan. Buku paket ini masih dalam tahap penyusunan dan diharapkan dalam tahun ini akan terbit. Data-data yang digunakan dalam penyusunan buku diperoleh dari verifikasi pengujian teknologi hasil perangkuman.
Untuk mendapatkan khitin murni dilakukan prtoses ekstraksi yang meliputi dua tahap kegiatan yaitu tahapan pemisahan mineral (demineralisasi) dan tahap pemisahan p0rotein (deproteinasi). Demineralisasi yaitu proses penghilangan mineral yang terdapat dalam bahan yang mengandung khitin. Untuk menghilangkan mineral tersebut, terutama kandungan kalsiumnya diperlukan penambahan asam seperti asam klorida, asam sulfat dan asam sulfit (Karmas, 1982)
Dari hasil studi literatur, terdapat berbagai metode demineralisasi dan deproteinasi khitin. Hong et al (1989) menggunakan larutan HCl 1 N dengan nisbah bahan 1:5 dan diekstrak selama 30 menit. Suptijah et. Al. (1992) menyebutkan ekstrak khitin menggunakan HCl 1,5 N dengan perbandingan 1:7 (b/v) atau 1 kg bahan dan 7 liter larutan HCl 1,5 N yang selanjutnya dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam. Budiyanto (1995) melakukan demineralisasi berulang dua kali dengan larutan HCl 1,25 N dengan nisbah bahan 1:10 (b/v) dan dipanaskan pada suhu 70-75 oC selama 1 jam.
Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan afgar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan. Dengan pengadukan ini diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen sehingga asam yang digunakan tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan (Karmas, 1982).
Setelah melalui demineralisasi, proses selanjutnya dengan deproteinasi yaitu proses penghilangan protein dengan menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi tertentu dan dengan perbandingan tertentu pula. Hong et. al. (1982) menyebutkan penggunaan NaOH sebesar 3,5 N dengan nisbah bahan 1:10 (b/v) dan dipanaskan selama 30 menit. Sedangkan Budiyanto (1995) melakukan proses deproteinasi dengan menggunakan larutan NaOH 3 % nisbah bahan 1:6 (b/v) dan dipanaskan pada suhu 85 oC selama 30 menit.
Hasil studi literatur yang diperoleh dijadikan dasar dalam penentuan titik-titik perlakuan untuk proses demineralisasi dan deproteinasi. Untuk proses demineralisasi konsentrasi HCl yang digunakan adalah perbandingan HCl dan raw material (rajungan) yaitu 1:1,5, 1:1,75 dan 1:2 (b/v) dengan perbandingan air dan raw material 1:15. Variasi waktu demineralisasi yang digunakan adalah 2 dan 3 jam. Sedangkan untuk proses deproteinasi, konsentrasi NaOH yang digunakan adalah 3,5%, 5% dan 6,5% dengan perbandingan air dan raw material 1:15. Variasi waktu ekstraksi yang digunakan sama dengan proses demineralisasi yaitu 2 dan 3 jam. Berikut berbagai metode deproteinasi yang berhasil dikumpulkan dari berbagai literatur.
Tabel 5. Metode Deproteinasi Khitin
Konsentrasi alkali | Suhu (oC) | Waktu (jam) | Nisbah (w/v) | Sumber |
1 N NaOH | 80 | 3x2 | - | Mirna et. al. (1983) |
2 % NaOH | 90 | 2 | 1:20 | Shahidi et. al. (1991) |
1 N NaOH | 50 | 6 | - | Brine et. al. (1981) |
5 % NaOH | 90 | 2 | - | Broussibnan et. al. (1968) |
1 N NaOH | 50 | 5 | - | Lindsay et. al. (1984) |
5 % NaOH | 65 | 1 | 1:15 | No et. al. (1995) |
4.3. Pemantapan Proses Ekstraksi
Proses pengolahan yang digunakan adalah disusun berdasarkan hasil perangkuman hasil riset yang dilakukan sebelumnya. Namun demikian, garis besar proses tersebut adalah dengan melakukan demineralisasi cangkang rajungan yang diikuti dengan proses deproteinisasi atau sebaliknya sehingga diperoleh khitin. Khitin yang diperoleh kemudian dideasetilisasi sehingga dihasilkan khtiosan (Chen et al., 1997; Gates, 1991; Oktavia et al., 2005; Wibowo, 2003; Wibowo et al., 2005).
4.3.1. Preparasi Bahan Baku
Kegiatan ini dilakukan untuk memantapkan preparasi bahan baku yang diperlukan sesuai dengan kondisi di lapangan. Diharapkan dari kegiatan ini diperoleh berbagai alternatif yang dapat dilakukan untuk penanganan bahan baku. Pada tahap ini dipelajari pengaruh bentuk dan kesegaran bahan baku.
Karakteristik bahan baku
Karakteristik bahan baku sangat diperlukan sebagai dasar atau acuan untuk pengembangan teknologi ekstraksi khitin dan khitosan salah satunya adalah pemilihan teknologi yang digunakan. Karakteristik bahan baku di sini adalah karakteristik (proximat dan densitas kamba) tiap bagian tubuh, misalnya cangkang punggung karakteristiknya seperti apa dan lain sebagainya.
Tabel 6. Karakteristik Cangkang Rajungan Per Bagian tubuh
Jenis sampel | K. Air (%) | K. abu (%) | N-total (%) | K. Protein (%) | D. Kamba (kg/L) | |
Basah*) | Kaki Besar | 7.71 | 65.13 | 2.24 | 14.02 | 0.1478 |
Kaki Kecil | 11.97 | 46.67 | 4.64 | 29.01 | 0.10935 | |
Karapas | 7.54 | 64.84 | 2.4 | 15.00 | 0.0483 | |
Bagian Lain | 11.66 | 52.11 | 2.67 | 16.68 | 0.11107 | |
| | | | | | |
Kering**) | Kaki Besar | 7.95 | 67.48 | 7.4 | 7.40 | 0.14615 |
Kaki Kecil | 11.95 | 50.24 | 22.81 | 22.81 | 0.10097 | |
Karapas | 9.19 | 66.99 | 7.95 | 7.95 | 0.0532 | |
Bagian Lain | 9.80 | 51.15 | 19.37 | 19.37 | 0.079 |
*) : Sampel diambil di lokasi dalam keadaan basah. Pengeringan dilakukan di BBRPPBKP
**) : Sampel diambil di lokasi dalam keadaan kering. Pencucian ulang dan pengeringan dilakukan di BBRPPBKP
Karakteristik bahan baku per tiap bagian tubuh rajungan berbeda-beda. Karakteristik ini akan digunakan sebagai acuan pemilihan teknologi ekstraksi. Faktor yang paling berpengaruh dalam pemilihan teknologi demineralisasi dan deproteinasi adalah kandungan mineral dan proteinnya. Kandungan mineral (kadar abu) paling tinggi adalah bagian kaki besar dan karapas rajungan. Secara visualisasi, bagian ini memang terlihat lebih putih yang mengindikasi adanya tumpukan kapur dan kalsium. Proses demineralisasi kaki besar dan karapas rajungan harus mendapat proporsi lebih jika dibandingkan dengan bagian yang lain.
Kandungan protein paling tinggi terdapat pada bagian kaki kecil. Bagian ini memiliki kandungan mineral lebih kecil dibandingkan bagian yang lain tetapi memiliki kandungan protein paling tinggi. Proses ekstraksi yaitu deproteinasi pada bagian ini harus mendapat proporsi lebih dibandingkan depreoteinasi bagian yang lain.
Densitas kamba cangkang rajungan berhubungan erat dengan kapasitas angkutan. Hal ini akan sangat berpengaruh pada cost produksi sehingga bila ingin bergerak di bidang industri kondisi ini harus dipahami benar. Semakin besar nilai densitas kamba kapasitas angkut cangkang akan semakin banyak. Nilai densitas kamba paling besar untuk tiap bagian rajungan adalah bagian kaki besar. Jumlah kilogram cangkang rajungan untuk kaki besar akan memiliki berat lebih besar bila dibandingkan dengan bagian yang lain.
4.3.1.1. Jenis Bahan Baku
4.3.1.1.1. Kadar Abu
Jenis bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 macam yaitu kaki besar (capit bawah dan capit atas), karapas punggung (totok) dan cangkang campuran. Dari hasil percobaan diketahui kadar abu khitin paling kecil diperoleh dari ektraksi cangkang bagian totok. Hal ini disebabkan oleh bentuk bahan yang lebih terbuka dibandingkan dengan bahan lainnya. Totok hampir tidak memiliki rongga ataupun celah-celah kecil yang dapat menghalangi penetrasi HCl dalam mereduksi kapur atau mineral. Berbeda dengan raw material kaki besar dan campuran yang memilki rongga dan celah-celah yang dapat menghambat penetrasi HCl. Permasalahan ini dapat diantisipasi dengan mereduksi ukuran bahan sebelum diekstrak sehingga kemungkinan penetrasi HCl lebih mudah.
![]() |
Gambar 5. Kadar Abu Khitin dengan berbagai Jenis Raw Material
Kadar abu merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan mutu khitin. Kadar abu dianggap sebagai ukuran keberhasilan proses demineralisasi pada proses pembuatan khitin. Menurut Benjakul dan Sophanodora (1993), semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka kadar abu yang dihasilkan akan semakin menurun. Kadar abu khitin yang berasal dari totok sebesar 0,39%, cangkang campur sebesar 0,75% sedangkan kadar abu khitin untuk kaki besar sebesar 1,03%. Kisaran kadar abu khitin untuk ketiga bahan tersebut masih berada pada kisaran yang ditetapkan yaitu kurang dari 2%.
4.3.1.1.2. Kadar Air
Kadar air suatu bahan sangat bergantung pada proses pengeringan. Biasanya semakin kering suatu bahan maka kandungan kadar airnya akan semakin rendah. Kadar air untuk ketiga bahan hampir sama yaitu berkisar 6,2 – 6,7%.
![]() |
Gambar 6. Kadar Air Khitin dengan berbagai Jenis Raw Material
Kadar air khitin tidak dipenngaruhi oleh jumlah bahan, nisbah dan waktu proses tetapi dipengaruhi oleh waktu pengeringanterhadap khitin yang dihasilkan. Karenany, untuk menjaga kestabilan kadar air khitin dibutuhkan teknik penyimpanan dan pengemasan yang baik.

4.3.1.1.3. Kadar Protein
Gambar 7. Kadar Protein Khitin dengan berbagai Jenis Raw Material
Dari hasil percobaan diketahui nilai kandungan protein khitin paling rendah diperoleh dari khitin yang berasal dari kaki besar. Seperti diketahui, dari hasil penelitian pendahuluan mengenai karakteristik bahan baku, kaki besar memiliki kandungan protein paling rendah dibandingkan dengan bagian yang lain. Karenanya kandungan protein yang dihasilkan juga akan lebih rendah dibandingkan dengan bagian yang lain. Kandungan protein khitin kaki besar sebesar 42,5% dan yang paling tinggi dihasilkan khitin yang berasal dari bagian totok sebesar 47%.
4.3.1.2. Kesegaran Bahan Baku
4.3.1.2.1. Kadar Abu

Gambar 8. Kadar Abu Khitin dengan berbagai tingkat Kesegaran Raw Material
Kadar abu merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan mutu khitin. Kadar abu dianggap sebagai ukuran keberhasilan proses demineralisasi pada proses pembuatan khitin. Menurut Benjakul dan Sophanodora (1993), semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka kadar abu yang dihasilkan akan semakin menurun. Dari hasil penelitian diketahui bahan baku yang berasal dari cangkang kering menghasilkan kadar abu cukup rendah yaitu 0,66% kemudian diikuti oleh khitin yang berasal dari cangkang segar dan yang terakhir cangkang awetan (1,17%).
4.3.1.2.2. Kadar Air
Kadar air suatu bahan ditentukan oleh proses pengeringan. Pada penelitian ini, khitin dikeringkan di bawah sinar matahari. Biasanya, khitin dijemur selama 2 hari atau lebih sampai kadar air di bawah 10%. Khitin yang sudah kering terasa kasar bila dipegang dan memilki tekstur yang khas. Berdasarkan hasil uji proximat, kandungan air khitin yang berasal dari 3 jenis bahan yang berbeda memiliki nilai yang hampir sama berkisar 6,2%-6,7%. Kadar air cangkang segar memiliki nilai yang paling rendah yaitu sebesar 6,2% dan yang paling tinggi berasal dari cangkang kering sebesar 6,7%.

Gambar 9. Kadar Air Khitin dengan berbagai tingkat Kesegaran Raw Material
Kadar air khitin tidak dipenngaruhi oleh jumlah bahan, nisbah dan waktu proses tetapi dipengaruhi oleh waktu pengeringanterhadap khitin yang dihasilkan. Karenany, untuk menjaga kestabilan kadar air khitin dibutuhkan teknik penyimpanan dan pengemasan yang baik.
4.3.1.2.3. Protein
Kadar protein suatu khitin dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kualitas bahan baku dan proses pengolahan. Pada penelitian ini, kadar protein khitin terendah diperoleh dari khitin yang berasal dari bahan baku awetan yaitu sebesar 42,17%. Hal ini disebabkan karena bahan baku yang digunakan sudah mendapakan perlakuan awal yaitu pre treatment menggunakan NaOH. NaOH mempunyai kemampuan mereduksi protein dalam suatu bahan sehingga ada sebagian protein yang sudah hilang pada saat pre treatment.

Gambar 10. Kadar Protein Khitin dengan berbagai tingkat Kesegaran Raw Material
Menurut Saleh et. al. (1994), kadar protein dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, semakin sempurna reaksi antara protein dengan lauran NaOH membentuk ester, sehingga protein yang dapat dihilangkan dari cangkang akan semakin banyak. Dalam hal ini berarti proses deproteoinasi cangkang awet secara akumulatif menggunakan konsentrasi NaOH lebih tinggi dibandingkan cangkang yang lain.
4.3.2. Pemantapan Proses Ekstraksi
4.3.2.1. Pemantapan Proses Demineralisasi
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatlkan konsentrasi dan waktu ekstraksi optimum pada produksi khitin. Perlakuan yang dilakukan adalah konsentrasi HCl dan waktu ekstraksi.
4.3.2.1.1. Kadar Abu
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kadar abu khitin untuk semua perlakuan masih berada pada standar yang ditetapkan yaitu di bawah 2%. Kadar abu terendah diperoleh pada perlakuan perbandingan cangkang dan HCl 1:1,75 selama 2 jam dan yang tertinggi dihasilkan dari perlakuan perbandingan cangkang dan HCl 1:2 selama 3 jam. Penambahan waktu ekstraksi menjadi 3 jam tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kadar abu.

Gambar 11. Kadar Abu Khitin dengan berbagai Konsentrasi HCl dan Waktu Ekstraksi
Kadar abu merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan mutu khitin. Kadar abu dianggap sebagai ukuran keberhasilan proses demineralisasi pada proses pembuatan khitin. Menurut Benjakul dan Sophanodora (1993), semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka kadar abu yang dihasilkan akan semakin menurun. Namun yang didapat dalam penelitian ini tidak demikian. Penambahan waktu proses tidak menyebabkan terjadinya penurunan kadar abu.

4.3.2.1.2. Reduksi Mineral
Gambar 12. Reduksi Mineral dengan berbagai Konsentrasi HCl dan Waktu Ekstraksi
Mineral yang hilang selama percobaan dapat dilihat pada gambar di atas. Dari gambar diketahui perlakuan perbandingan cangkang dan HCl 1:1,75 selama 2 jam dapat mereduksi mineral paling tinggi yaitu sebesar 99,91%. Penambahan waktu ekstraksi selama 3 jam tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kemampuan mereduksi mineral.
Kemampuan reduksi mineral pada proses ekstraksi seperti halnya kadar abu juga dipengaruhi oleh proses pencucian. Pencucian yang tidak sempurna setelah proses deproteinasi dapat menyebabkan atom Na masih tertinggal dalam khitin sehingga dapat meningkatkan kadar mineral.
4.3.2.1.3. Kadar Air
![]() |
Gambar 13. Kadar Air Khitin dengan berbagai Konsentrasi HCl dan Waktu Ekstraksi
Berdasarkan hasil analisa proksimat, diketahui bahwa kadar air khitin untuk semua perlakuan berkisar antara 4,91-7,13 %. Kadar air khitin terendah diperoleh pada perlakuan perbandingan cangkang dan HCl 1:2 selama 2 jam dan yang tertinggi pada perlakuan perbandingan cangkang dan HCl 1:1,5 selama 2 jam.
Kadar air khitin tidak dipenngaruhi oleh jumlah bahan, nisbah dan waktu proses tetapi dipengaruhi oleh waktu pengeringanterhadap khitin yang dihasilkan. Karenany, untuk menjaga kestabilan kadar air khitin dibutuhkan teknik penyimpanan dan pengemasan yang baik.
4.3.2.1.4. Kadar Protein
Kadar protein khitin hasil percobaan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Dari gambar terlihat jelas bahwa kadar protein untuk semua perlakuan hampir sama yaitu berkisar 44-56% kecuali pada perlakuan perbandingan cangkang dan HCl 1:1,75 selama 2 jam yaitu 26%. Kandungan protein yang hampir sama untuk semua perlakuan disebabkan karena pada penelitian ini tidak ada perlakuan reduksi protein atau deproteinasi. Proses deproteinasi pada penelitian ini menggunakan NaOH 3,5%.
![]() |
Gambar 14. Kadar Protein Khitin dengan berbagai Konsentrasi HCl dan Waktu Ekstraksi
Dari hasil penelitian mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah HCl dan waktu proses dapat menurunkan kadar protein khitin. Larutan asam klorida (HCl) pada proses demineralisasi digunakan untuk menghilangkan komponen mineral, namun larutan HCl tersebut selain bereaksi dengan mineral juga bereaksi dengan protein, pigmen dan komponen lain sehingga selain kalsium klorida, asam karbonat, dan asam posfat yang terbuang maka sejumlah kecil bahan lain yaitu protein dan komponen lain seperti fosfor, magnesium dan besi juga ikut larut pada saat demineralisasi dan terbuang pada saat pencucian (Bastaman, 1989).
4.3.2.1.5. Rendemen
Kadar rendemen suatu bahan biasanya berkorelasi dengan kadar air. Semakin tinggi kadar air maka semakin tinggi pula rendemen yang dihasilkan. Perlakuan perbandingan cangkang dan HCl 1:1,5 selama 2 jam menghasilkan rendemen paling tinggi yaitu sebesar 15,4% sedangkan rendemen paling rendah diperoleh pada perlakuan cangkang dan HCl 1:1,75 selama 3 jam yaitu sebesar 12,93%. Bila dihubungkan dengan kadar airnya, rendemen khitin pada penelitian ini memiliki korelasi dengan kadar air dimana semakin tinggi kadar air, semakin tinggi pula rendemennya.

Gambar 15. Rendemen Khitin dengan berbagai Perlakuan Konsentrasi HCl dan Waktu Ekstraksi
Selain itu, rendemen yang bervariasi antar perlakuan bisa juga disebabkan karena proses demineralisasi dan deproteiansi kurang hati-hati terutama pada tahap pemisahan dan pencucian karena pada saat pencucian, remah-remahan cangkang akibat pengadukan lolos dari keranjang pencucian sehingga ikut terbuang. Untuk mengantisipasi hal itu, keranjang yang digunakan harus memilki ukurran mess cukup kecil. Pada tahun ini akan dirancang bak pencucian yang dilengkapi keranjang yang akan dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejadian seperti ini.
4.3.2.2. Pemantapan Proses Deproteinasi
4.3.2.2.1. Kadar Air
Berdasarkan hasil uji proximat, kadar air khitin yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3,66 – 4,49%. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan NaOH 5% selama 2 jam yaitu sebesar 4,49% dan yang paling rendah pada perlakuan NaOH 5% selama 3 jam.
Kadar air khitin tidak dipenngaruhi oleh jumlah bahan, nisbah dan waktu proses tetapi dipengaruhi oleh waktu pengeringanterhadap khitin yang dihasilkan. Karenany, untuk menjaga kestabilan kadar air khitin dibutuhkan teknik penyimpanan dan pengemasan yang baik.

Gambar 16. Kadar Air Khitin dengan berbagai Konsentrasi NaOH dan Waktu Ekstraksi
4.3.3.2.2. Kadar Abu
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kadar abu khitin untuk semua perlakuan masih berada pada standar yang ditetapkan yaitu di bawah 2%. Kadar abu terendah diperoleh pada perlakuan NaOH 6.5% selama 2 jam. Penambahan waktu ekstraksi menjadi 3 jam tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kadar abu.

Gambar 17. Kadar Abu Khitin dengan berbagai Konsentrasi NaOH dan Waktu Ekstraksi
Berdasarkan pengamatan visual di lapangan, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan proses demineralisasi akan berlangsung lebih sempurna. Hal ini diduga karena adanya reaksi NaOH dengan protein pada permukaan cangkang sehingga lapisan cangkang lebih terbuka. Celah-celah yang telah terbuka akibat reaksi ini akan memudahkan penetrasi HCl ke dalam cangkang yang menyebabkan reaksi antara HCl dengan senyawa kapur lebih sempurna. Dari gambar 17 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, kadar abu khitin yang dihasilkan akan semakin rendah.

4.3.3.2.3. Kadar Protein
Gambar 18. Kadar Protein Khitin dengan berbagai Konsentrasi NaOH dan Waktu Ekstraksi
Proses deproteinasi bertujuan untuk mereduksi protein yang terdapat dalam bahan. Dari hasil penelitian, kandungan protein khitin semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi NaOH yang digunakan. Kandungan protein paling rendah diperoleh pada perlakuan ekstraksi NaOH 6,5% selama 2 jam. Penambahan waktu ekstraksi menjadi 3 jam tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai protein khitin.
Menurut Saleh et. al. (1994), kadar protein dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, semakin sempurna reaksi antara protein dengan lauran NaOH membentuk ester, sehingga protein yang dapat dihilangkan dari cangkang akan semakin banyak.
4.3.3.2.4. Rendemen
Kadar rendemen suatu bahan biasanya berkorelasi dengan kadar air. Semakin tinggi kadar air maka semakin tinggi pula rendemen yang dihasilkan. Perlakuan ekstraksi NaOH 6,5% selama 2 jam menghasilkan rendemen paling tinggi yaitu sebesar 13,4% sedangkan rendemen paling rendah diperoleh pada perlakuan ekstraksi NaOH 3,5% selama 3 jam yaitu sebesar 12,33%. Bila dihubungkan dengan kadar airnya, rendemen khitin pada penelitian ini memiliki korelasi dengan kadar air dimana semakin tinggi kadar air, semakin tinggi pula rendemennya.

Gambar 19. Rendemen Khitin dengan berbagai Konsentrasi NaOH dan Waktu Ekstraksi
Selain itu, rendemen yang bervariasi antar perlakuan bisa juga disebabkan karena proses demineralisasi dan deproteiansi kurang hati-hati terutama pada tahap pemisahan dan pencucian karena pada saat pencucian, remah-remahan cangkang akibat pengadukan lolos dari keranjang pencucian sehingga ikut terbuang. Untuk mengantisipasi hal itu, keranjang yang digunakan harus memilki ukurran mess cukup kecil. Pada tahun ini akan dirancang bak pencucian yang dilengkapi keranjang yang akan dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejadian seperti ini.
4.3.2.3. Penentuan Urutan Ekstraksi
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh urutan ekstraksi terhadap mutu khitin yang dihasilkan. Spesifikasi mutu khitin diperlukan untuk kebutuhan aplikasinya dalam produk pangan dan non pangan. Untuk aplikasi yang berbeda, kebutuhan akan jenis khitin juga akan berbeda pula.
Dari gambar 20 dapat dilihat bahwa ektraksi yang didahului dengan proses deproteinasi menghasilkan khitin dengan kadar abu lebih rendah jika dibandingkan dengan ekstraksi yang didahului dengan proses demineralisasi. Kuat dugaan bahwa proses deproteinasi ikut membantu mempermudah penetrasi HCl melepas mineral yang terdapat dalam permukaan cangkang. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan buih yang lebih banyak pada saat ekstraksi berlangsung dibandingkan dengan buih yang terbentuk pada proses ekstraksi tanpa perlakuan deproteinasi terlebih dahulu. Selain itu, proses ekstraksi yang didahului dengan proses deproteinasi, secara visual menghasilkan warna khitin lebih putih.

Gambar 20. Kandungan Kimia Khitin dengan Urutan Ekstraksi yang Berbeda
4.3.2.4. Pemantapan Proses Deasetilasi
Derajat deasetilasi merupakan parameter khitosan yang sangat penting. Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari khitin sehingga dihasilkan khitosan. Penggunaan derajat deasetilasi sebagai parameter mutu khitosan disebabkan karena adanya gugus asetil pada khitosan akan menurunkan efektivitas khitosan (knorr, 1982). Dengan semakin berkurangnya gugus asetil pada rendemen khitosan maka interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari khitosan akan semakin kuat. Derajat deasetil yang tinggi menunjukkan kemurnian khitosan yang dihasilkan.
Khitin hasil penelitian pendahuluan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam tangki ekstraksi yang telah di isi larutan NaOH panas suhu 110 oC. Konsentrasi NaOH yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50% dan 60%. Proses ekstraksi dilakukan dengan 2 variasi waktu yaitu 8 dan 10 jam. Jumlah cangkang rajungan yang digunakan sebanyak 2 kg kering. Setelah proses ekstraksi selesai, limbah dicuci sampai netral lalu dilakukan proses selanjutnya yaitu pengeringan. Cangkang yang sudah netral lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 2 hari.
Dari hasil percobaan, makin banyak jumlah NaOH yang digunakan mengindikasikan proses pemutusan gugus asetil khitin semakin mudah. Semakin banyak gugus asetil yang berhasil dihilangkan semakin tinggi tingkat kemurnian khitosan. Akan tetapi, penggunaan NaOH dengan konsentrasi lebih tinggi harus dicermati dan dipertimbangkan dengan baik karena berhubungan dengan komersialisasi yaitu biaya produksi. Selisih sekecil apapun baik itu jumlah penggunaan bahan kimia atau waktu proses akan sangat berpengaruh terhadap margin keuntungan perusahaan.
4.4. Rancang Bangun Alat Pengolahan Skala Laboratorium
Pada tahap ini dilakukan perancangan peralatan yang digunakan untuk penanganan dan pengolahan khitin dan khitosan. Rancangan peralatan ini didsarkan pada hasil identifikasi kebutuhan teknologi dan perangkuman hasil riset yang dilakukan sebelumnya.
4.4.1. Tangki Demineralisasi
Berdasarkan hasil percobaan dan studi literatur, tangki yang digunakan untuk proses demineralisasi dibuat dari bahan fiber glass berbentuk setengah lingkaran dengan panjang 2 m, diameter 1,6 m yang dilengkapi dengan kaki penopang. Tangki ini dirancang dengan sistem horisontal yang dilengkapi dengan sistem pengaduk dan keranjang pengangkat. Kapasitas tangki yang digunakan sekitar 1500 - 2000 L. Bila dilihat dari kapasitas sekali running sebesar 1500-2000 l maka dapat diestimasikan bahan baku yang bisa diproses sekali running sebesar 150-200 kg. Jumlah yang cukup besar untuk produksi skal pilot plan laboratorium. Tangki ini diletakkan bersebelahan dengan tangki deproteinasi dan deasetilasi untuk memudahkan pemindahan bahan baku pasca proses demineralisasi ke proses selanjutnya yaitu deproteinasi.
4.4.2. Tangki Ekstraksi Multifungsi
Tangki ekstraksi multi fungsi yang dirancang untuk proses ekstraksi khitin dan khitosan (proses deproteinisasi) dan sekaligus untuk proses deasetilasi. Tangki ini dirancang dengan sistem vertikal menggunakan bahan stainless steel yang dilengkapi dengan sistem pengaduk (aerasi dan agitasi), keranjang pengangkut, dan pemanas. Sistem pemindahan dan pengangkatan bahan baku dari tangki deproteinasi menggunakan sistem rel yang ditopang dengan tiang-tiang penyangga. Tangki ini juga dilengkapi dengan keranjang, intalasi pipa keluar masuk air serta burner pemanas. Kapasitas tangki multifungsi ini sebesar 500 l. Untuk proses pemurnian khitin menjadi khitosan (deasetilasi), estimasi jumlah khitosan yang bisa dihasillkan dalam sekali running proses sebesar 25-35 kg.
4.4.3. Alat Pengangkat
Alat ini dirancang untuk mengangkat keranjang yang digunakan dalam proses demineralisasi, deproteinisasi maupun deasetilasi. Alat ini menggunakan sistem rel untuk memindahkan tangki ekstraksi beserta bahannya pasca proses. Pengangkatan manual hanya menggunakan tenaga manual sulit dilakukan karena bobot bahan dan keranjang cukup berat. Selain itu, penggunaan alat pengangkat juga untuk mencegah kontak langsung peneliti dengan bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi. Bahan kimia yang digunakan cukup berbahaya bagi kesehatan salah satunya dapat menyebabkan iritasi kulit berupa gata-gatal.
4.4.4. Bak Pencucian
Bak yang digunakan untuk pencucian atau penetralan bahan berbentuk tabung yang terbuat dari fiber glass. Bak ini dirancang dengan ukuran lebih besar dari keranjang tangki multifungsi. Bak ini juga dilengkapi dengan blower yang berfungsi sebagi pengaduk untuk mempercepat proses penetralan. Dari penelitian yang dilakukan, proses penetralan bahan hasil dari proses deasetilasi sangat sulit apalagi bila menggunakan bahan cukup banyak. Proses penetralan bahkan memerlukan waktu lebih lama dari proses ektraksi bila dilakukan secara manual. Diharapkan dengan penggunaan blower kecepatan tinggi, waktu penetralan bisa dihemat sebanyak mungkin sehingga kapasitas produksi per hari bisa ditingkatkan.
V. KESIMPULAN
1. Limbah crustacea yaitu rajungan dan sebagian udang cukup potensial. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya miniplan-miniplan pengolahan rajungan dan pabrik pengolahan udang yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
2. Limbah rajungan paling banyak dihgasilkan di Pulau Jawa yaitu disekitar Pantai Utara Jawa. Sedangkan untuk limbah udang, penyebarannya lebih terkonsentrasi di Pulau Sumatera yaitu Lampung dan medan, Pulau Kalimantan penghasil limbah rajungan dan udang, Sulawesi lebih banyak limbah rajungan.
3. Ekstraksi khitin menggunakan HCl dengan perbandingan raw material:HCl sebesar 1:1,5 (b/v) sudah menhasilkan khitin dengan kadar abu memenuhi standar yang ditetapkan.
4. Penambahan waktu ekstraksi (demineralisasi) tidak mermberikan perbedaan yang nyata terhadap kualitas khitin yang dihasilkan.
5. Ekstraksi khitin menggunakan NaOH sebesar 3,5%, 5% dan 6,5% menghasilkan kualitas khitin yang hampir sama baik untuk kadar protein maupuan kadar abunya.
6. Penambahan waktu ekstraksi (deproteinasi) tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kualitas khitin yang dihasilkan.
7. Dari hasil penelitian, kesimpulan sementara dalam produksi khitin skala pilot, jumlah NaOH yang digunakan adalah 3,5% untuk proses deproteinasi dan untuk HCl dengan perbandingan raw material:HCl sebesar 1:1,5 (b/v).
8. Alat pengolahan yang telah dibangun di Lab Pilot Plan akan dapat meningkatkan produksi khitin dan khitosan karena kapasitas produksi yang cukup besar dan adanya penghematan waktu di hampir setiap proses produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Department of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University. Belfast.
Chen, Rong-Huei; Chang, Jaan-Rong and Shyur, Ju-Shii. 1997. Effects on Ultrasonic Conditions and Storage in Acidic Solutions on Changes in Molecular Weight and Polydispersity of Treated Chitosan.r Carbohydrate Research. 299:287 – 294.
Domard A. 1998. Physicochemical properties of chitinous materials. In: Chen RH, Chen H, editors. Advances in Chitosan Science. Vol. 3. Taiwan : National Taiwan Ocean University . p 24-38.
Dwiyitno, Basmal, J. dan Mulyasari. 2004. Pengaruh Suhu Esterifikasi Terhadap Karakteristik Karboksimetil Kitosan (CMCts). J. Riset Perikanan Indonesia. Edisi Pasca Panen. 10(3):67 – 73.
Gates KW. 1991. Waste reduction, water conservation and recovery of seafood by products. Marine Technol Soc J 25:44-51
Henriksen I, Skaugrud Ø, Karlsen J. 1993. Use of chitosan and chitosan malate as an excipient in wet granulation of three water soluble drugs. Int J Pharmaceutics 98(1-3):181-8.
Hong, H. No. K., Meyers, S. P., dan Lee, K. S. 1989. Isolation and Characterization of Chitin from Crawfish Shell Waste. J. Agric. Food Chem.
Il’ina AV, Varlamov VP, Melent’ev AI, Aktuganov GE. 2001. Depolymerization of chitosan with a chitinolytic complex from bacteria of the genus Bacillus sp. 739. Appl Biochem and Microbiol 37:142-4.
Jeuniaux C, Voss-Foucart MF, Poulicek M, Bussers JC. 1989. Source of chitin, estimated from new data on chitin biomass and production. In: Skjak-Braek G, Anthonsen T, Sandford P, editors. Chitin and chitosan: source, chemistry, biochemistry, physical properties and applications. Elsevier Applied Science, London and New York . p 3-11.
Jeuniaux C. 1978. Distribution and quantitative importance of chitin in animals. In: Muzarelli RAA, Pariser ER, editors. Proceedings of the first international conference on chitin/chitosan. Cambridge , MA . p 5-10.
Karmas. 1984. Meat. Poultry and Seafood Technology. Neyes Data Corporation.
Knorr D. 1984. Uses of chitinous polymer in food – A challenge for food research and development (chitin, chitosan, functional properties, nutritional aspects, safety). Food Technol 38(1):85-89, 92-97.
Lee M, Nah JW, Kwon Y, Koh JJ, Ko KS , Kim SW. 2001. Water-soluble and low molecular weight chitosan-based plasmid DNA delivery. Pharm Res 18:427-31.
Lian CM, Chen KL, Chan KC. 1999. Effect of high molecular weight chitosan on nutrient digestibility, blood lipids and fecal contents in rats. In: Chen RH, Chen H, editors. Advances in Chitosan Science. Vol. 3. Taiwan : National Taiwan Ocean University . p 299-306.
Muzzarelli RAA. 1977. Chitin. Oxford, U.K.; Pergamon Press. p 309.
Nakayama M, Saeki S, Ogura K. 1999. In-situ observation of electrochemical formation and degradation of polyaniline by Fourier-Transform Infrared Spectroscopy. Analytical Science 15:259-63.
No HK, Lee KS, Meyers SP. 2000. Correlation between physicochemical characteristics and binding capacities of chitosan products. J Food Sci 65:1134-7.
Ohkawa K, Yamada M, Nishida A, Nishi N, Yamamoto H. 2000. Biodegradation of chitosan-gellan and poly(L-lysine)-gellan polyion complex fibers by pure culture of soil filamentous fungi. J Polym Env 8:59-66.
Oktavia, D.A.; S. Wibowo; dan Y.N. Fawzya, 2005. Pengaruh jenis limbah rajungan dan rasio kitosan - monokloro asetat terhadap karakteristik karboksimetil kitosan. (dalam proses publikasi)
Peter MG. 1995 Applications and environmental aspects of chitin and chitosan. J Macromol Sci, Pure Appl Chem 32:629-41.
Saleh, M., R. Abdilla, M. Suherman, J. Basmal dan N. Indriati. 1994. Pengaruh Suhu, Waktu dan Konsentrasi Pelarut pada Ekstraksi Khitosan dari Limbah Pengolahan Udang Beku terhadap beberapa Parameter Mutu Khitosan. Jurnal Pasca Panen Perikanan. Hal. 81.
Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon Y-J. 1999. Food application of chitin and chitosans. Trends Food Sci Technol 10:37-51.
Sophanodora, P. A. And G.P. Hutchings. 1987. Chitosan and Natural Cationic Biopolimer, Commercial Application dalam Industrial Polysaccharides. Editor Yalpani, M. Proceeding of The Symposium on The Apllication and Modification of Industrial Polysaccharides, 5-7 April 1987. Elsevier Sci. Co. Inc. New York.
Wibowo, S. 2003. Surimi Wash Water Treatment by Chitosan-Alginate Complexes: Effect of Molecular Weight and Degree of Deacetylation of Chitosan and Nutritional Evaluation of Solids Recovered by the Treatment. PhD Disertation. Department of Food Science and Technology, Oregon State University, Corvallis, Orgeon, USA.
Wibowo, S.; E. Chasanah and Y.N. Fawzya, 2005. Prospect of chitin production and application in Indonesia. Paper presented at the Discussion Forum on Prospect of chitin production and application in Indonesia, BPP Teknologi, September 14, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar